Mohon tunggu...
Putri Permata
Putri Permata Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Amatir

Sedang belajar bagaimana caranya menuangkan isi pikiran yang berkecamuk secara sistematis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal 'Tiwah', Upacara Sakral dalam Suku Dayak Ngaju

26 Juni 2021   19:36 Diperbarui: 26 Juni 2021   19:59 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap daerah tentu mempunyai suatu kebudayaan yang menjadi identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tak terkecuali dengan ritual khusus berupa seremoni kesukuan hingga keagamaan sebagai landasan hidup masyarakat yang bersangkutan. Manifestasi dari kebudayaan itu sendiri sangatlah beragam, salah satunya yaitu berupa pola-pola perilaku yang telah terbentuk dan melekat pada diri individu maupun kelompok.

Sebagaimana kita ketahui, di tengah merambahnya pengaruh modernisasi, ternyata masih banyak suku di Indonesia yang lebih memilih tetap lestari dibanding mengedepankan egonya sendiri. Contohnya adalah suku Dayak Ngaju, suku asli Kalimantan Tengah. Suku Ngaju merupakan sub-etnis Dayak yang penyebarannya cukup luas di pulau tersebut. Selain menganut kepercayaan Kaharingan, suku Dayak Ngaju juga mempertahankan sebuah tradisi leluhur yang cukup sakral, yakni upacara Tiwah sebagai proses dalam pengantaran arwah manusia (Liau) menuju Lewu Tatau atau surga. Menurut logika saya, hal tersebut sangatlah tidak masuk akal. Mengapa? Karena hukum Kekekalan Energi membuktikan bahwa energi tidak dapat diciptakan, dihilangkan, ataupun dihancurkan. Nah, sama halnya dengan energi atau roh yang menjadi pembangkit raga seorang manusia, tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan ini. Namun, perlu diingat bahwa anggapan tersebut bukan berarti saya tidak menghormati keyakinan mereka.

Upacara Tiwah tentu mempunyai sebuah maksud, yaitu untuk menghormati orang-orang yang sudah wafat serta dipercaya dapat membuang kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara kematian tersebut kerap dianggap sebagai ritual besar dan tidak sembarangan, sebab dalam pelaksanaannya melibatkan banyak masyarakat serta menghabiskan durasi yang cukup panjang, yaitu tujuh hingga empat puluh hari nonstop

Menurut hasil riset yang telah saya lakukan, ditemukan fakta bahwa upacara Tiwah yang bisa disebut dengan Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ini juga sudah diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia pada tahun 2014 silam. Pada dasarnya, seremoni kematian dalam keyakinan suku Dayak Ngaju ini terbagi menjadi dua, yakni upacara penguburan jenazah, dan upacara Tiwah itu sendiri. Waktu untuk merealisasi antara keduanya biasanya diberi jeda beberapa tahun dengan alasan biaya yang cukup mahal, yaitu kisaran 50 juta – 100 juta rupiah.

Karena dipandang begitu keramat, upacara Tiwah pantang dilakukan tanpa persiapan yang benar-benar matang. Bahkan waktu penyelenggaraannya pun mesti dilangsungkan pada bulan Mei, Juni, atau Juli, yakni saat setelah musim panen padi. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat memiliki cadangan makanan yang cukup demi kelancaran upacara Tiwah tanpa terganggu pekerjaan maupun tuntutan lainnya. Jujur, saya sangat salut dengan keteguhan hati masyarakat Dayak Ngaju dalam melestarikan budayanya. Mereka rela mengorbankan waktu, diri, dan harta mereka demi menggenapi tradisi turun-temurun ini.

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum upacara Tiwah dimulai adalah dengan mengumpulkan tulang belulang dari liang lahad Liau. Namun, lain cerita bagi kelompok masyarakat borjuis yang mampu melaksanakan upacara Tiwah sesaat setelah kerabatnya wafat. Karena jenazah masih memiliki jasad yang utuh, proses pengambilan tulang-belulang tentu berbeda, yaitu dengan cara mencabik-cabik jasad tersebut hingga daging dan tulang dapat tercerai.

Seperti upacara-upacara resmi pada umumnya, upacara Tiwah dipimpin oleh seorang bakas Tiwah, yaitu penanggung jawab yang bertugas untuk mengoordinasikan segala hal ihwal terkait upacara tersebut. Bakas Tiwah tidak bekerja sendiri, tetapi ia akan dibantu oleh anak-anak Tiwah: sebutan bagi para peserta yang turut berpartisipasi.

Setelah sedikit membahas perihal salah satu budaya Dayak Ngaju tersebut, dengan demikian, simpulan saya mengenai itu adalah perihal kepercayaan yang mengakar kuat pada suku Dayak Ngaju dalam melestarikan budaya nenek moyang mereka. Dalam hal ini adalah upacara Tiwah yang sakral. Meskipun terkesan konservatif dan tak logis di tengah derasnya arus globalisasi, itu sama sekali tak membuat adat istiadat yang telah lama terpatri di benak menjadi pudar. Dalam rangka mengekalkan kebudayaan, sebesar apa pun harga dan jiwa yang harus dibayar, pasti akan dikorbankan dengan ikhlas. Tabiat semacam itu saya rasa layak dihayati dan ditiru oleh para generasi muda dewasa ini. Kita boleh berinovasi untuk memajukan peradaban, tetapi jangan sampai lupa akan tanah dan budaya kita sendiri. Hal itu bisa diterapkan dengan cara mengadopsi konsep hidup leluhur ke kehidupan aktual. Misalnya dengan mencontoh nilai-nilai dan tata kramanya, keteguhan hati, hingga sifat mandiri orang-orang terdahulu. Hal itu penting, sebab suatu bangsa tidak dapat dikatakan eksis tanpa adanya kebudayaan sebagai identitas diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun