Mohon tunggu...
Putra Surya Setiawansyah
Putra Surya Setiawansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Putra Surya Setiawansyah,Karyawan swasta/Mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi,Semester 3, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Membaca, menulis,menghargai perasaan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akhlak Tasawuf

17 November 2022   21:02 Diperbarui: 17 November 2022   21:14 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

Ilmu tasawuf merupakan rumusan teoritis wahyu Tentang hubungan antara Tuhan dan manusia dan apa yang harus dilakukan tentangnya Agar dapat terhubung dengan Tuhan sebanyak mungkin melalui pemurnian Latihan jiwa dan spiritual.

Meskipun Ilmu Karam adalah mata pelajaran Islam Ini memunculkan banyak diskusi tentang masalah aqidah dan filosofi merupakan representasi teoritis wahyu manusia tentang keberadaan (esensi), proses, Seperti proses kreatif alam dan manusia. Meskipun psikologi adalah ilmu yang membahas tentang gejala dan aktivitas pikiran manusia.

Akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari adalah Kebutuhan seorang muslim, dia muttaqin, dan Tasawuf membuat agama tidak hanya dipahami atau dipahami Tetapi juga untuk hidup dan merasa sebagai kebutuhan, Tidak hanya itu, dengan Khalik (pencipta alam semesta). 

Merasa muraqabah dan muqarabah Seorang hamba adalah bukti kedekatan seorang hamba Tuhan menyelamatkannya dari perbuatan keji dan penghinaan.

Tasawuf juga bagian dari syari’at, yang merupakan wujud dari ihsan, salah satu dari kerangka ajaran Islam. Oleh karena itu, perilaku sufi harus tetap berada di dalamnya. Tasawuf sebagai manifestasi ihsan, merupakan penghayatan terhadap agama yang dapat menawarkan pembebasan spiritualyang kemudian mengajak manusia mengenal dirinya sendiri hingga akhirnya mengenal Tuhan.

Rumusan Masalah

  • Bagaimana konsep akhlak mulia dalam islam?
  • Apa hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama?
  • Apa perbedaan pengertian tasawuf dan tasawuf akhlak?
  • Apakah pendidikan karakter saja cukup?
  • Apa saja modal pengembangan kepribadian muslim dalam fikih dan tasawuf?

 

 PEMBAHASAN

 

Akhlak Mulia Dalam Islam

Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya. Akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan aqidah dan syariah.

Ibarat bangunan, akhlak mulia merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya dibangun dengan baik. Tidak mungkin akhlak mulia ini akan terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki aqidah dan syariah yang baik.[1]

 Menurut Nabi Muhammad Saw. Dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang agung yang ternyata untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni kurang lebih 23 tahun. 

Nabi melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.

 Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam (68): 4).

 Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. 

Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178). Satu kata lagi yang sekarang menjadi lebih polpuler adalah karakter yang juga memiliki makna yang

 hampir sama dengan akhlak, moral, dan etika. Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

 Etika memandang perilaku secara universal, sedang moral secara memandangnya secara lokal Adapun karakter lebih ditekankan pada aplikasi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, karakter lebih mengarah kepada sikap dan perilaku manusia. Konsep pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona, Dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education. 

Melalui buku ini, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Pendidikan Karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan Moral.[2]

 Sumber untuk menentukan akhlak dalam Islam, apakah termasuk akhlak yang mulia atau akhlak yang tercela, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya adalah al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Baik dan buruk dalam akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. 

Sebab jika ukurannya adalah manusia, maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik. Kedua sumber ajaran Islam yang pokok itu (al-Quran dan Sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tinggal mentransfernya dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw.

[3] Keduanya hingga sekarang masih terjaga keautentikannya, kecuali Sunnah Nabi yang memang dalam perkembangannya banyak ditemukan hadits-hadits yang tidak benar (dha‟if/palsu). Melalui kedua sumber inilah kita dapat memahami bahwa sifat-sifat sabar, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. 

Sebaliknya, kita juga memahami bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub,takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan nilai yang berbeda-beda.

 Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain selain al-Quran dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia. Standar lain yang dapat dijadikan untuk menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum masyarakat. Manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid (QS. al-A‟raf (7): 172 dan QS. al-Rum (30): 30). Dengan fitrah tauhid inilah manusia akan mencintai kesucian dan cenderung kepada kebenaran. 

Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, karena kebenaran itu tidak akan dicapai kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun demikian, harus diakui bahwa fitrah manusia tidak selalu dapat berfungsi dengan baik. Pendidikan dan pengalaman manusia dapat memengaruhi eksistensi fitrah manusia itu. 

Dengan pengaruh tersebut tidak sedikit fitrah manusia menjadi kotor dan tertutup sehingga tidak lagi dapat menentukan baik dan buruk dengan benar. Karena itulah ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan kepada hati nurani belaka, tetapi harus dikembalikan kepada wahyu yang terjamin kebenarannya.[4]

 

Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama

Tasawuf dapat dijadikan pijakan jiwa alternative dalam menghadapi problem kehidupan yang semakin kompleks. Setiap orang membutuhkan pijakan dalam hidupnya untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang berimplikasi pada psikologi pada orang tersebut. 

Tasawuf dijadikan pijakan karena tasawuf lebih dekat dengan disiplin ilmu psikologi. Akan tetapi sering kedua kajian tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian tasawuf, psikologi agama, dan kesehatan mental dengan soal yang sama, yakni soal jiwa. 

Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik. Dan disebut orang yang berakhlak baik.

Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jelek. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakkan perilaku dan akhlak-akhlak yang terpuji. 

Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk melalui kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.

 Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. 

Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf lebih mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam hal ini ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. 

Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antar keduanya. 

Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.

Ditekankanya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga penting karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah. Seorang tidak mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. 

Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).[5]

 Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, dan pada mereka akan timbul perasaan tenang hatinya. Namun, bagi orang yang kurang sehat mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu menjelma menjadi prilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma yang ada. 

Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.

 

 

Perbedaaan Pengertian Tasawuf dan Tasawuf Akhlak

Tasawuf dalam pengertiannya dari segi bahasa para ahli menjelaskan beberapa arti kata tasawuf. Harun Nasution menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan arti kata tasawuf, yaitu :

1. As suffah (ahlu suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah.Ahlu suffah menggambarkan keadaan seseorang yang rela meninggalkan rumah,kekayaan,harta bendanya di Makkah untuk hijroh bersama dengan Nabi di Madinah.Tanpa adanya iman yang kuat didalam hati maka seseorang tdak akan melakukan hal tersebut.

2. Saff (barisan), makna ini dinisbahkan kepada barisan orang-orang yang selalu berada pada barisan terdepat dalam hal melakukan ibadah dan mengerjakan kebajikan.

3. Sufi (suci), yaitu menggambarkan keadaan seseorang yang selalu memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat.

4. Sofos berasal dari bahasa yunani,yaitu menggambarkan keadaan jiwa seseorang yang senantiasa kepada keenaran.

5. Suf (kain wol), yaitu menggambarkan kehidupan sederhana dan hidup yang zuhud atau tidak terlalu memikirkan kehidupan duniawi.[6]

 

Sedangkan secara istilah adalah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagian spiritualitas.[7] 

 Dalam perkembangannya tasawuf terbagi menjadi 4 bagian, ada tasawuf akhlaki, tasawuf irfani,tasawuf falsafi dan tasawuf amali. Dari 4 macam tasawuf tersebut penulis fokus pada pembahasan tasawuf akhlaki, yang mana tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah SWT dibuktikan dalam kegiatan sosial.

[8] Oleh karena itu tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.

 

Agar mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf membentuk spesifikasi kajian tasawuf pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW:

قلاخلأا مراكم متملأ تثعب انمإ

Artinya: “Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan kemuliaan 

Akhlak

Agar mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf membentuk spesifikasi kajian tasawuf pada ilmu

Diantara ciri-ciri dari tasawuf akhlakii adalah sebagai berikut:[9]

 

1. Melandaskan diri pada as sunnah, dalam ajarannya cenderung memakai landasan Qur’ani dan hadits sebagai kerangaka pendekatannya.

 

2. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniah) dengan fiqih (sebagai aspek lahiriyah).

 

3. Lebih bersifat mengajarkan dualism dalam hubungan antara manusia dengan tuhannya.

 

4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa dengan cara latihan mental (takhali, tajalli, dan tahalli).

 

Adapun system pembinaan akhlak dalam tasawuf akhlaki disusun sebagai berikut:

  • Takhali

Takhali merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang, yaitu usaha untuk mengosongkan diri dari prilaku atau akhlak tercela. Hal ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuk dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.

  • Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan cara membiasakann diri dengan sikap, prilaku dan akhlak terpuji.

  • Tajalli

Tahap tajalli termasuk kedalam tahap pensucian jiwa yang dapat ditempuh

dengan jalan cinta kepada Allah dan memperdalam rasa cinta tersebut.

Adapun tokoh tasawuf akhlaki diantaranya adalah sebagai berikut:[10]

 

1. Hasan Al-Basri (21 H- 110 H) Hasan Al-Bashri memiliki nama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid dari kalangan tabiin yang lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah. Beliau merupakan pelopor utama yang mulai memperluaskan ilmu-ilmu kebatinan dan kesucian jiwa. Menurut pandangannya, tasawuf merupakan ajaran untuk menanamkan rasa takut (baik itu takut akan dosa-dosa, takut tidak mampu memenuhi perintah dan larangan Allah, takut akan ajal atau kematian) di dalam diri setiap hamba dan senantiasa mengingat Allah SWT. Beliau berpendapat bahwa dunia adalah ladang beramal, banyak duka cita di dunia dapat memperteguh amal sholeh.

 

2. Al-Muhasibi (165 H – 243 H) Al-Muhasibi memiliki nama lengkap Abu Abdillah Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al- Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashroh, Irak pada tahun 165 Hijriyah. Menurut beliau, tasawuf berarti ilmu yang mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw. Beliau juga berpendapat ada 3 hal yang perlu ditekankan untuk membersihkan jiwa dan mencapai jalan keselamatan, yaitu melalui Ma’rifat (Mengenal Allah SWT dengan mata hati), Khauf (rasa takut), dan Raja’ (pengharapan).

 

3. Al-Qusyairi (376 H- 465 H) Al-Qusyairi memiliki nama lengkap ‘Abdul Karim bin Hawazim. Beliau lahir di kawasan Nishafur pada tahun 465 Hijriyah, dimana beliau ini merupakan seorang ulama yang ahi dalam berbagai disiplin ilmu pada masanya. Ajaran tasawuf AlQusyairi didasarkan pada doktrin Ahlusunnah Wal Jama’ah dan berlandasakan ketauhidan. Beliau mengadakan pembaharuan di ajaran tasawuf, dengan menentang keras doktrin-doktrin aliran Karamiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mujassamah. Ia juga menjelaskan pembeda antara dzahir dan bathil, serta syariat dan hakikat.

 

Menurutnya, tidak haram jika seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.

 

4. Al-Ghazali (450–505 Hijriah) Al-Ghazali memiliki nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi. Beliau lahir di kota Khurasan, Iran pada tahun 450 Hijriyah. Al-Ghazali juga berupaya mengembalikan ajaran tasawuf yang sesuai syariat agama dan bersih dari aliran-aliran asing yang menyesatkan islam, dengan berpedoman pada Al-Quran dan As- sunnah (Ajaran Rasulullah Saw). Tasawuf Al-Ghazali lebih kepada penekanan pendidikan moral, dimana seseorang dianjurkan memperdalam ilmu aqidah dan syariat terlebih dahulu sebelum mempelajari ketasawufan.

 

Pentingnya Pendidikan Karakter

 

Secara Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang Muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau ateis, dapat saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya, kabarnya, di Jepang, jika ketinggalan barang di taksi hampir pasti akan kembali. 

Di Cina, masyarakat ditanamkan disiplin yang sangat tinggi dalam soal sampah. Di jalan-jalan sulit ditemukan sampah. Bahkan, sampah selembar daun pun dapat mereka manfaatkan untuk bahan bakar. Artinya, karakter yang bagus dapat dibentuk pada setiap manusia, tanpa memandang agamanya. Jika orang non-Muslim dapat berkarakter, orang muslim juga dapat seperti itu Lalu, dimana perbedaan antara Muslim dan non-Muslim yang berkarakter?

 Bagi muslim, dia dapat juga dan bahkan harus berkarakter mulia. Tetapi, bagi muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara muslim dengan non-muslim –meskipun sama-sama berkarater- adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.[11]

 

Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang terdapat dalam pendidikan akhlak sebagai landasan dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab dapat ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw.

        Misalnya, Anas ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

اكرمواأوالدكمواحسنوااداهبم

      (Muliakan anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.) (HR. Ibn Majah).

       Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy‟ari, misalnya dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam As-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang. 

Secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy‟ari, tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.[12]

 

       Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab?

 

Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas: Adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal.       

Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.[13] Begitu pentingnya masalah adab ini, maka dapat dikatakan, jatuh bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. 

 Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenai dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika Allah swt menyebut dalam al-Qur’an, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa,[14] Maka seorang yang beradab tidak akan lebih hormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru mengaji yang shalih di kampung. 

Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Begitulah akhlak kepada sesama manusia dalam Islam. 

Akhlak juga terkait dengan ketauhidan, sebab akhlak kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak merserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan Kholiq dengan makhluk merupakan Tindakan yang tidak berakhlak. 

Karena itulah, maka dalam al-Qur‟an disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa As diangkat derajatnya dengan Kholiq, padahal ia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat berakhlak haruslah meletakkan Kholiq pada tempat-Nya sebagai Kholiq, jangan disamakan dengan makhluk.[15]

 Itulah akhlak kepada Allah Swt. Nabi Muhammad Saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau berbeda dengan manusia lainnya karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama, apa lagi kepada utusan Allah yang mulia. 

Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih tinggi dibandingkan gaji guru mengaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Makanya orang berebut untuk menjadi presiden karena menganggap presiden merupakan kedudukan terhormat dan memiliki kekuasaan besar sehinga dapat melakukan perubahan.[16] 

 Dan mereka juga sudah merasa bahwa darinya memiliki karakter yang kuat dan cukup untuk memberikan perubahan di dalam negara. Karakter yang juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama, atau lakon. 

Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber- “peran“ baik dengan sifat-sifat yang diberikan kepadanya. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa melainkan dorongan masyarakat. Mungkin tampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi Ilahi.[17]

 Sering kita temui pemimpin yang sangat berkuasa dan punya pengaruh yang luar biasa di masyarakat. Mampu menyelesaikan berbagai macam masalah dengan cepat dan tepat dihadapan manusia. Tindakannya selalu tegas serta punya prinsip yang susah untuk digoyahkan. Dia dikatakan memiliki karakter yang kuat. Walaupun ternyata dibalik itu dia memiliki wanita idaman lain (WIL). 

Dan tidak pernah melaksanakan sholat ataupun mungkin puasa sesuai perintah agama. Tapi dia tidak dapat disebut sebagai pemimpin yang berakhlak.

 Integrasi Fikih dan Tasawuf sebagai Modal Pengembangan Kepribadian Muslim

 Ada lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian Muslim. Dasar pertama adalah akidah yang benar, yang berdiri di atas keimanan yang benar, yang mendorong pada tindakan yang lurus. Dasar kedua ada model ideal yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik. Dasar ketiga adalah kapasitas diri untuk menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan menerapkan ilmu dalam kehidupannya. 

Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah. Dasar kelima adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.[18] Rasulullah Saw. adalah figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual.

[19]33 Beliau adalah pribadi yang mendapat pendidikan langsung dari Allah dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Pada diri beliau terhimpun semua kebaikan yang disebutkan Alquran. Beliau adalah Alquran hidup. Beliau memadukan model pengamalan agama yang memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan muamalah, tetapi pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin, keikhlasan lahir batin, khusyuk kepada Allah, kerendahan hati, kedermawanan, dan pengabdian yang tulus.[20]

 Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrâwî. Seorang yang memadukan pengamalan syariah dengan

 

Tasawuf secara baik dan benar akan menghindari paham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup berikut ini:

 

(1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi lahir; (2) lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, ‘uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih mengutamakan kepuasaan spiritual yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif; 

dan (4) memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina, dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani; serta (5) memandang aktivitas muamalah seperti bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina.

 Dalam sejarah Islam, paham spiritualisme tercermin antara lain pada gaya hidup asketis (zuhud) aliran Malamatiyyah. Aliran ini adalah perkumpulan para sufi yang setiap saat dekat dengan Allah, siang dengan berpuasa, malam dengan qiyâm al-layl dengan banyak salat, zikir, doa, serta dengan memperhatikan aspek batiniah mereka. 

Mereka suka mencela diri mereka sendiri dengan perkataan dan perbuatan, menampilkan diri mereka kepada publik dengan segala penampilan yang mengesankan hina, kumuh, dan miskin, serta berusaha menyembunyikan kebaikan mereka. Dengan tindakan ini, mereka mengharapkan agar publik mencela penampilan luar mereka, tetapi mereka mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas ruhani di hadapan Allah.[21]

 Pada waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih dengan tasawuf akan menjauhi pola hidup hedonis. Menurut paham ini, suatu perbuatan dinyatakan baik apabila perbuatan tersebut mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan secara biologis. Demikian sebaliknya, suatu perbuatan dinyatakan buruk, apabila perbuatan itu tidak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis. 

Jadi, kelezatan, kenikmatan dan kepuasan biologis menjadi ukuran dalam menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Aliran Hedonisme merupakan pemikiran filsafat Epicurus (341–270 SM) yang ketika pertama dicetuskan menyebutkan bahwa kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan yang menjadi ukuran baik dan buruknya suatu perbuatan itu tidak hanya secara biologis, tetapi juga secara rohani dan intelektual. 

Namun, pada perkembangan selanjutnya hedonisme hanya menilai baik dan buruknya suatu perbuatan dari segi kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan biologis saja. Menurut aliran ini, minuman keras, berjudi, pornoaksi, pornografi, berbuat mesum, dan berzina adalah perbuatan baik, apabila tindakan itu mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan biologis. [22]

 PENUTUP

  Kesimpulan

 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan yaitu:

 

Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya. Akhlak mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan aqidah dan syariah. Menurut Nabi Muhammad Saw. Dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. 

Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadits Nabi Saw. Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika.

Satu kata lagi yang sekarang menjadi lebih polpuler adalah karakter yang juga memiliki makna yang . Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. 

Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. 

Thomas Lickona, Dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education. Jadi, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan Moral. Sumber untuk menentukan akhlak dalam Islam, apakah termasuk akhlak yang mulia atau akhlak yang tercela, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya adalah al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. 

Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik. Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain selain al-Quran dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia. Standar lain yang dapat dijadikan untuk menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum masyarakat. 

Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik. Dan disebut orang yang berakhlak baik. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakkan perilaku dan akhlak-akhlak yang terpuji.

 Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Seorang tidak mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. 

Namun, bagi orang yang kurang sehat mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Tasawuf dalam pengertiannya dari segi bahasa para ahli menjelaskan beberapa arti kata tasawuf. Harun Nasution menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan arti kata tasawuf, yaitu: 

 1. As suffah (ahlu suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah.Ahlu suffah menggambarkan keadaan seseorang yang rela meninggalkan rumah,kekayaan,harta bendanya di Makkah untuk hijroh bersama dengan Nabi di Madinah.Tanpa adanya iman yang kuat didalam hati maka seseorang tdak akan melakukan hal tersebut.

 2. Saff (barisan), makna ini dinisbahkan kepada barisan orang-orang yang selalu berada pada barisan terdepat dalam hal melakukan ibadah dan mengerjakan kebajikan.

 3. Sufi (suci), yaitu menggambarkan keadaan seseorang yang selalu memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat.

 4. Suf (kain wol), yaitu menggambarkan kehidupan sederhana dan hidup yang zuhud atau tidak terlalu memikirkan kehidupan duniawi. Sedangkan secara istilah adalah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagian spiritualitas.

 Dari 4 macam tasawuf tersebut penulis fokus pada pembahasan tasawuf akhlaki, yang mana tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlak. Oleh karena itu tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Takhali merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang, yaitu usaha untuk mengosongkan diri dari prilaku atau akhlak tercela.

 

1. Beliau merupakan pelopor utama yang mulai memperluaskan ilmu-ilmu kebatinan dan kesucian jiwa.

 2. Menurut beliau, tasawuf berarti ilmu yang mengajarkan untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw.

 3. Beliau lahir di kawasan Nishafur pada tahun 465 Hijriyah, dimana beliau ini merupakan seorang ulama yang ahi dalam berbagai disiplin ilmu pada masanya. Menurutnya, tidak haram jika seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.

 4. Al-Ghazali juga berupaya mengembalikan ajaran tasawuf yang sesuai syariat agama dan bersih dari aliran-aliran asing yang menyesatkan islam, dengan berpedoman pada Al-Quran dan As- sunnah (Ajaran Rasulullah Saw). Secara Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang Muslim yang berkarakter? 

Orang komunis, atau ateis, dapat saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya, kabarnya, di Jepang, jika ketinggalan barang di taksi hampir pasti akan kembali. Di Cina, masyarakat ditanamkan disiplin yang sangat tinggi dalam soal sampah. 

Tetapi, bagi muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Yang diperlukan oleh kaum muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang terdapat dalam pendidikan akhlak sebagai landasan dasar dalam Islam. 

(Muliakan anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.) (HR. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy‟ari, misalnya dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam As-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. 

Bahkan, sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang. Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam islam disampaikan oleh Prof. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. 

Keduanya sia-sia karena yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan. Akhlak juga terkait dengan ketauhidan, sebab akhlak kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak merserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan Kholiq dengan makhluk merupakan Tindakan yang tidak berakhlak.

Nabi Muhammad Saw adalah juga manusia. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama, apa lagi kepada utusan Allah yang mulia. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. 

Mungkin tampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi Ilahi. Tindakannya selalu tegas serta punya prinsip yang susah untuk digoyahkan. Dia dikatakan memiliki karakter yang kuat. Ada lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian Muslim.

Dasar kedua ada model ideal yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik. Dengan memadukan fikih dan tasawuf atau hukum dan moralitas dalam menjalani kehidupan, maka akan melahirkan pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrâwî. 

Seorang yang memadukan pengamalan syariah dengan . (1) lebih mengutamakan dimensi batin dari-pada dimensi lahir; (2) lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwah, ‘uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para pertapa; (3) lebih mengutamakan kepuasaan spiritual yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif;

dan (4) memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina, dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani; serta (5) memandang aktivitas muamalah seperti bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina. 

Dalam sejarah Islam, paham spiritualisme tercermin antara lain pada gaya hidup asketis (zuhud) aliran Malamatiyyah. Aliran ini adalah perkumpulan para sufi yang setiap saat dekat dengan Allah, siang dengan berpuasa, malam dengan qiyâm al-layl dengan banyak salat, zikir, doa, serta dengan memperhatikan aspek batiniah mereka. Pada waktu yang sama, seorang yang memadukan pengamalan fikih dengan tasawuf akan menjauhi pola hidup hedonis

 

Daftar Pustaka

  

Ali, Mukti, Agama dan Pembentukan Kepribadian Nasional, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1969

 Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LPPI UMY. Cet. IV. 2004

 Anwar, Rasihon, dan Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

 Huda, Miftahul. Filsafat Hukum Isla. Ponorogo: Stain Ponorogo Press. 2006

 Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

 Kesuma, Dharma (dkk). Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011

 Tufiq, Ahmad. Pendidikan Agama Islam: Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam. Surakarta: Yuma Pustaka, 2011

 Ismail, Asep Usman, Apakah Wali itu Ada: Menguak Makan Kewalian Dalam Tasawuf Pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibn Taymiyyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun