Di sebuah warung kopi kecil di desa, percakapan antara seorang ayah dan pemuda membuka mata tentang pahitnya kenyataan: anak negeri yang bekerja keras justru kalah bersaing di tanahnya sendiri.
---
Suara sendok beradu dengan gelas kopi terdengar di antara asap rokok yang menebal di warung kecil dekat jalan utama desa. Di pojok warung, seorang ayah duduk bersandar di kursi kayu, menatap langit malam yang mulai temaram. Di hadapannya, seorang pemuda menunduk, memainkan sendok kecilnya dengan gelisah.
Kerja sekarang susah, Yah kata si pemuda akhirnya, suaranya berat, nyaris seperti mengeluh.
Ayah itu tersenyum tipis. Dari dulu kerja memang nggak pernah mudah, Nak. Tapi dulu yang susah itu masih bisa berjuang. Sekarang, yang berjuang malah kalah sama orang luar yang datang ke negeri kita.
Pemuda itu menatapnya dengan raut serius. Itu dia, Yah. Sekarang di perusahaan-perusahaan, bahkan proyek di desa kita aja, yang kerja kebanyakan orang luar. Anak daerah cuma jadi penonton.
Ayah itu menarik napas dalam-dalam, menatap gelasnya yang sudah tinggal ampas. Lucunya, pemerintah bilang ingin memakmurkan rakyat. Tapi siapa rakyat yang dimaksud?Â
Kadang aku heran, kenapa anak negeri sendiri justru makin susah berdiri di tanahnya sendiri.
Warung itu mendadak hening. Hanya suara jangkrik yang bersahutan di luar, mengisi ruang di antara dua generasi yang sama-sama kecewa.
Pemuda itu melanjutkan, nada suaranya meninggi, Kita bukan malas, Yah. Kita mau kerja. Tapi pintunya kayak ditutup rapat. Yang punya koneksi duluan, yang dari kota duluan, atau malah tenaga kerja dari luar negeri yang datang karena katanya lebih profesional. Padahal kita ini lahir di sini, besar di sini. Kenapa malah dianggap asing di negeri sendiri?