Di negeri yang katanya kaya sumber daya, mencari kerja terasa seperti mencari jarum di tumpukan janji.
Ijazah sudah ada, semangat masih menyala, tapi pintu-pintu rezeki seolah hanya terbuka untuk mereka yang "punya koneksi."
Sementara rakyat kecil hanya bisa menatap langit malam  berharap besok ada panggilan kerja, bukan penolakan lagi.
---
Setiap pagi jalanan penuh orang berangkat kerja, tapi di rumah rumah kecil pinggir kota, ada jutaan yang masih menatap langit berharap panggilan interview yang tak kunjung datang.
---
Realita yang Tak Bisa Disembunyikan
Di setiap warung kopi, di setiap kursi plastik pinggir jalan, cerita yang keluar selalu sama: Susah kali cari kerja sekarang, Bang.
Ijazah sudah di tangan, pengalaman ada, tapi lowongan makin sedikit.
Bahkan untuk posisi yang gajinya tak seberapa, pelamarnya bisa ratusan.
Lucunya, di berita televisi atau pidato pejabat, angka pengangguran katanya menurun.
Tapi di dunia nyata, grup WhatsApp penuh curhatan soal lamaran yang tak dibalas dan link lowongan yang ternyata palsu.
---
Ketika Ijazah Tak Lagi Jadi Jalan Keluar
Dulu, orang tua berpesan:
Sekolah yang rajin, biar gampang dapat kerja.
Namun kini, banyak sarjana justru menumpuk di rumah  menatap tembok dengan tumpukan berkas lamaran yang mulai menguning.
Bukan karena malas, tapi karena sistem kerja yang penuh nepotisme dan koneksi.
 Aku sudah lulus cumlaude, tapi yang diterima malah anak pejabat,"
curhat seorang teman di Palembang yang sudah melamar ke 30 perusahaan tanpa satupun balasan.
Ijazah bukan lagi jaminan, hanya selembar kertas yang kadang kalah oleh "siapa yang kau kenal".
---
Pengangguran yang Diam-Diam Jadi Bom Waktu
Setiap tahun ribuan mahasiswa diwisuda dengan toga dan senyum bangga. Tapi seminggu setelah itu, realitas datang tanpa ampun.
Lamaran ditolak, panggilan kerja tak datang, dan tabungan habis pelan-pelan.
Banyak yang akhirnya kerja serabutan --- jadi kurir, jaga konter, atau jualan online kecil-kecilan.
Kreatif memang, tapi itu bukan pilihan ideal --- itu bentuk bertahan hidup.
Jika terus dibiarkan, pengangguran bukan hanya soal ekonomi, tapi bisa berubah menjadi api sosial yang membakar kesabaran rakyat.
---
 Harapan yang Mulai Pudar
Ada yang memilih merantau ke kota besar, tapi justru terjebak dalam biaya hidup tinggi.
Ada pula yang nekat kerja ke luar negeri, menanggung risiko besar karena di negeri sendiri terasa tak ada tempat.
Sementara itu, di layar-layar besar dan baliho, wajah para pejabat tersenyum sambil berkata,
Kami telah menciptakan lapangan kerja baru."
Padahal rakyat masih berjuang menahan lapar sambil menunggu panggilan dari perusahaan yang mungkin tak pernah datang.
---
Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Rakyat
Rakyat tidak butuh janji manis atau seminar motivasi.
Yang dibutuhkan sederhana, tapi nyata:
Lapangan kerja sungguhan, bukan angka di data statistik.
Rekrutmen yang adil, bukan hanya untuk yang punya orang dalam.
Dukungan untuk usaha kecil, bukan hanya proyek miliaran milik elite.
Upah layak yang bisa menutup biaya hidup, bukan sekadar cukup untuk bertahan.
Karena tidak semua orang ingin kaya raya.
Sebagian hanya ingin bisa makan, bayar kontrakan, dan membahagiakan orang tua dengan cara halal.
---
Penutup
Pengangguran bukan sekadar angka di laporan ekonomi.
Ia adalah wajah-wajah lelah yang menatap masa depan dengan cemas.
Ia adalah suara diam di dalam rumah-rumah sederhana,
yang setiap malam berdoa agar besok pagi ada satu panggilan kerja yang datang.
Dan jika semua kesempatan hanya diberikan pada mereka yang punya akses,
maka jangan salahkan rakyat bila suatu saat mereka berhenti percaya pada kata adil.
--
#SusahCariKerja | #PengangguranNaik | #SuaraRakyat | #IjazahTakLagiSakti | #RealitaAnakBangsa | #KompasianaMalamSelasa
---
Kolom Komentar untuk Pembaca:
Bagaimana dengan kalian, kawan?
Apakah kalian juga sedang berjuang mencari kerja tapi terus terbentur nasib dan sistem yang tak adil?
Atau mungkin kalian punya pengalaman lolos kerja dengan perjuangan panjang?
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI