Sekolah yang rajin, biar gampang dapat kerja.
Namun kini, banyak sarjana justru menumpuk di rumah  menatap tembok dengan tumpukan berkas lamaran yang mulai menguning.
Bukan karena malas, tapi karena sistem kerja yang penuh nepotisme dan koneksi.
 Aku sudah lulus cumlaude, tapi yang diterima malah anak pejabat,"
curhat seorang teman di Palembang yang sudah melamar ke 30 perusahaan tanpa satupun balasan.
Ijazah bukan lagi jaminan, hanya selembar kertas yang kadang kalah oleh "siapa yang kau kenal".
---
Pengangguran yang Diam-Diam Jadi Bom Waktu
Setiap tahun ribuan mahasiswa diwisuda dengan toga dan senyum bangga. Tapi seminggu setelah itu, realitas datang tanpa ampun.
Lamaran ditolak, panggilan kerja tak datang, dan tabungan habis pelan-pelan.
Banyak yang akhirnya kerja serabutan --- jadi kurir, jaga konter, atau jualan online kecil-kecilan.
Kreatif memang, tapi itu bukan pilihan ideal --- itu bentuk bertahan hidup.
Jika terus dibiarkan, pengangguran bukan hanya soal ekonomi, tapi bisa berubah menjadi api sosial yang membakar kesabaran rakyat.
---
 Harapan yang Mulai Pudar
Ada yang memilih merantau ke kota besar, tapi justru terjebak dalam biaya hidup tinggi.
Ada pula yang nekat kerja ke luar negeri, menanggung risiko besar karena di negeri sendiri terasa tak ada tempat.
Sementara itu, di layar-layar besar dan baliho, wajah para pejabat tersenyum sambil berkata,
Kami telah menciptakan lapangan kerja baru."
Padahal rakyat masih berjuang menahan lapar sambil menunggu panggilan dari perusahaan yang mungkin tak pernah datang.