Mohon tunggu...
Putra Amin A.
Putra Amin A. Mohon Tunggu... Mahasiswa, Mengabdi, Menulis

Menyukai isu Pendidikan, Politik, Kebijakan Publik dan Demokrasi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik Disertasi UI: Ketika Akademisi Sibuk Menambang daripada Jaga Marwah Ilmu Jangka Panjang

17 Oktober 2025   12:10 Diperbarui: 17 Oktober 2025   12:09 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langkah Universitas Indonesia (UI) mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta bukan sekadar soal marwah akademik yang diinjak. Lebih dalam, kasus ini menelanjangi betapa dunia akademik kita bisa terkooptasi kepentingan politik dan bisnis.

Di balik nama besar Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, berdirilah dua tokoh yang seharusnya menjaga integritas kampus: Chandra Wijaya (Dekan FIA UI 2021--2024) dan Athor Subroto (Direktur SKSG UI 2021--2025). Mereka bukan hanya promotor dan ko-promotor disertasi, tetapi juga aktor dengan segudang kepentingan di luar ruang kelas.

Catatan publik memperlihatkan keterlibatan keduanya dalam sejumlah jabatan strategis, termasuk posisi komisaris di perusahaan tambang. Sektor yang ironisnya kerap berseberangan dengan isu tata kelola, lingkungan, dan keberlanjutan yang mestinya menjadi perhatian kampus.

Bagaimana mungkin seorang pejabat akademik bisa sekaligus merangkap kepentingan bisnis yang sarat konflik? Kasus ini memperlihatkan adanya potensi barter pengaruh: jabatan akademik dijadikan legitimasi intelektual, sementara jejaring politik-ekonomi di luar kampus menjadi alat tawar-menawar.

Sanksi yang dijatuhkan UI terhadap keduanya sebenarnya sudah sangat ringan: larangan mengajar dan membimbing mahasiswa selama tiga tahun, penundaan kenaikan pangkat, hingga larangan menduduki jabatan struktural. Bahkan, gelar akademik mereka tidak diturunkan, berbeda dengan standar universitas internasional, seperti di Australia, yang bisa langsung mereduksi jabatan akademik dari profesor menjadi associate professor.

Namun, bukannya menerima koreksi etik, Athor dan Chandra justru melawan balik. Mereka menyeret universitas ke PTUN, seolah-olah perkara etika akademik bisa diperdebatkan di ruang sidang perdata. Putusan PTUN yang memenangkan mereka hanya mempertebal citra buruk: ada jalinan kepentingan politik, ekonomi, dan hukum yang saling menopang.

Tak bisa dilepaskan, semua ini bermula dari figur Bahlil Lahadalia. Disertasinya yang penuh kontroversi menjadi pintu masuk untuk membaca betapa kuatnya jejaring kekuasaan merasuk ke jantung universitas. Sebagai menteri sekaligus politisi, Bahlil adalah sosok dengan daya tawar besar. Relasinya dengan promotor dan ko-promotor tentu tidak sekadar hubungan akademik biasa. Ada kepentingan timbal-balik yang kental: promotor mendapat akses kekuasaan, sementara Bahlil mendapat legitimasi akademik.

Inilah wajah suram akademia kita: universitas dijadikan panggung politik dan bisnis.

UI Harus Lawan, Publik Harus Kawal

Banding yang diajukan UI bukan hanya perkara prosedural, tetapi pertaruhan integritas universitas. Jika dibiarkan, kampus tak ubahnya pabrik gelar, asal punya kuasa, uang, dan akses politik, maka segalanya bisa dibeli.

Rektor UI Heri Hermansyah sudah menegaskan, urusan etika akademik bukan ranah perdata. Kampuslah yang seharusnya berdaulat penuh. Dukungan publik sangat diperlukan agar banding ini berhasil. Masyarakat harus mengawal proses hukum ini, memastikan tidak ada lagi ruang kriminalisasi di ruang akademik. Kampus tidak boleh tunduk pada tekanan politik maupun kekuatan modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun