Mohon tunggu...
KBP Kartika
KBP Kartika Mohon Tunggu... Penulis - @MalleumIustitiaeInstitute @Wecara.id

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Wong Cilik" & Kapitalisme-Mikro: Sebuah Siasat bagi Kaum Pinggiran Menghadapi Praksis Ketidakadilan

22 November 2023   11:51 Diperbarui: 22 November 2023   11:51 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Antara keadilan dan keseimbangan; pemerataan dan pertumbuhan, merupakan suatu pilihan dilematis dalam mencapai aktivitas ekonomi yang demokratis. Namun, pada realitas sosial yang dibentuk oleh partikularisme ekonomi pasar bebas terhadap negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia, sebagaimana yang diutarakan Haridadi Sudjono dalam "Globalisasi: Perkembangan Serta Kemungkinan Bencananya Bagi Indonesia", nilai-nilai free-trade dalam persaingan pasar tidak menjamin terjadinya sistem persaingan yang fair-trade, serta tidak pula menjamin kekuataan masing-masing individu untuk berdaya dalam persaingan ekonomi berbasis pasar sehingga mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial.

YANG KAYA MAKIN KAYA, YANG MISKIN MAKIN MISKIN

Berupaya mengurai ukuran permasalahan "Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin" di Indonesia, jika merujuk pada angka rasio gini (dalam hal pendapatan, pengeluaran, dan konsumsi rumah tangga), jika diperbadingkan pada beberapa negara di Asia Tenggara, meliputi Thailand (35.0); Indonesia (37.6); dan Vietnam (36.8), Indonesia menempati rating ketimpangan sosial yang cukup serius. Sementara, pada data per Maret 2023, rasio gini di Indonesia saat ini terhitung pada skor 0,388, meningkat dari September 2022 (0,381) dan Maret 2022 (0,384). Pun, jika dilihat pada perbandingan PDB Per Kapita Indonesia terhadap PDB diantara negara-negara berkembang di tahun 2022, Indonesia masih berada di bawah Brasil; Meksiko; Afrika Selatan, dan tak luput negara tetangga di Kawasan Asia seperti Malaysia dan Thailand. Rata-rata dalam 275 juta penduduk Indonesia memiliki pendapatan sekitar Rp 71 Juta per tahun atau sekitar Rp 5,9 Juta per bulan. Oleh fakta-fakta tersebut, 25,90 Juta (9,36%) penduduk miskin kemudian mempertanyakan tentang bagaimana mungkin mereka tidak memiliki kesempatan untuk merasakan "romantisme" narasi-narasi ekonomi pasar dan pertumbuhan ekonomi dalam sistem yang "demokratis" ini. Berlaku adil, berarti berpihak kepada kebenaran.

REORIENTASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA

Sebagai pemilik domain kekuasaan tertinggi dalam suatu kelompok yang memiliki otoritas, Negara; Pemerintah; dan atas scope of power yang dimiliki, sudah barang tentu ditempatkan secara mendesak pada titik-titik kritis untuk menyelenggarakan negara dan fungsi publik dengan adil. Makna "adil" tersebut saya maknai dalam konteks kemampuan kekuasaan dalam mendistribusikan sumber daya, kesempatan, dan potensi kekayaan yang dimiliki negara, dimana etika dalam dimensi aktivitas ekonomi-politik pada sektor makro maupun mikro seyogyanya berjalan pada aktivitas yang equity, sebagaimana konsepsi Distributive Shares milik Rawls dalam "A Theory of Justice" karangannya. Menggunakan sudut pandang tersebut, saya berpendapat bahwa dalam hal pemerataan ekonomi sekaligus kualitas hidup bagi kelompok tertinggal di Indonesia, Pemerintah sudah saatnya untuk gencar mengintensifikasi kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, akses investasi jangka panjang, dan alokasi output investasi ke sektor pendidikan ataupun sektor lain yang dapat menunjang kualitas sumber daya manusia dan lapangan kerja bagi penduduk Indonesia.

ETIKA AKTOR DALAM GARIS VERTIKAL

Selain wadah kebijakan dan akses kesempatan yang nantinya diberikan, Pemerintah dalam perannya sebagai pejabat publik dan penyelenggara negara juga wajib merefleksikan etika profesi sebagai "kartu mati", dan melakukan "tindakan eliminasi" terhadap praktik-praktik yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan elit; korupsi; kolusi; dan nepotisme. Eliminasi tindakan praktik-praktik tersebut, dapat dimulai secara end-to-end dari sistem pendidikan (terkait pengetahuan masyarakat dalam memilah baik-buruk dan menentukan peluang), penerimaan calon pegawai dan abdi negara, hingga momentum pemilihan elektoral pada tingkat lokal hingga nasional. Dalam hubungan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, merupakan suatu solusi yang konkrit agar Pemerintah mengintensifikasi penentu pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari beragam komoditas dan jenis industri, mulai dari industri besar; sedang; hingga industri rumah tangga, sehingga, serapan lapangan pekerjaan meluas dan kelompok-kelompok yang tertinggal dan/atau berada di bawah garis kemiskinan memiliki kesempatan untuk memperoleh kualitas hidupnya. Untuk mereduksi realitas ketimpangan sosial yang terjadi, selain pada relasi vertikal, masyarakat juga memerlukan suatu kesadaran dan kejelihan dalam memanfaat peluang yang diberikan pasar bebas melalui konsepsi "Mikro-Kapitalisme".

PRAKSIS "MICRO-CAPITALISM"

Secara sederhana, mikro-kapitalisme adalah praktik yang bertujuan memaksimalkan kapital perorangan melalui tindakan-tindakan yang kolektif dan progresif, seperti menjadi tenaga kerja dan mengalokasikan hasil kerjanya untuk mengembangkan kekayaannya secara berulang. Memanfaatkan peluang mekanisme pasar bebas, mikro-kapitalisme memerlukan rencana sistematis dan aksi yang terorganisir untuk menciptakan revolusi, salah satunya dengan memaksimalisasi produktivitas tindakan ekonomi individu masing-masing. Penguasaan industri persaingan dapat diwujudkan melalui sumber daya kapital yang akan dihasilkan oleh praktik mikro-kapitalisme yang dilakukan secara terorganisir. Hal tersebut kemudian akan berfungsi sebagai jaminan untuk tujuan pembelian dan penggunaan mesin produksi, pinjaman modal, pengelolaan usaha, penyimpanan dan penjualan ulang. Nilai lebih atau keuntungan yang berhasil terakumulasi, kemudian diterjemahkan menjadi kekayaan yang dapat diinvestasikan kembali untuk menghasilkan kekayaan yang lebih besar. "Tindakan produksi (menjual) bukan salah satu yang dianggap sebagai modal, namun, modal adalah salah satu sarana awal yang diperlukan untuk mengaktivasi aktor mikro-kapitalisme baru sebagai modal produksi yang dimotivasi oleh keuntungan. Mikro-kapitalisme memungkinkan pencapaian dan keuntungan kapital bagi individu yang hanya memiliki kekuatan modal kecil dan pendidikan yang rendah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun