Mohon tunggu...
Johan Yahya
Johan Yahya Mohon Tunggu... -

Usia 16. Pelajar SMA. Pecundang dengan sejuta harapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Bentukan Internet

21 Juli 2011   15:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ranah internet, kita sudah menjumpai pola perpindahan masyarakat online dari satu “permukiman” ke “permukiman” yang lain. Kira-kira, sejak awal 2004 sampai akhir 2007 situs jejaring sosial Friendster menjadi ajang nomor wahid para ABG untuk mengaktualisasi diri mereka. Mereka dapat men-share foto, testimoni, maupun shoutout (semacam ungkapan dari pemilik akun tentang apa yang sedang terjadi atau sedang melintas di pikirannya). Ada satu tradisi yang unik di Friendster, yaitu cara mengetik secara alay. Salah satu contohnya adalah seperti tampak pada teks di ini: "iCh,,, kAmu qoq g1tu s!cH yAnK??? aqUwh k4nG3n beUdt loCh..."

Seperti yang tampak (namun sayangnya sulit terbaca), tulisan alay adalah semacam usaha substitusi huruf-huruf dalam ejaan baku dengan karakter-karakter lain yang dirasa mirip. Lebih jauh, kapitalisasi huruf jelas diabaikan di sini. Selain itu, mulai ada kecenderungan untuk menjadikan kata lebih panjang daripada ketika diketik dengan cara yang baku.

Tradisi lain yang mewabah di Friendster adalah pemakaian glitter banner di profil pengguna. Bentuk nya bermacam-macam, mulai dari yang imut sampai yang konyol. Karena situs penyedia banner itu memungkinkan pengguna untuk mengedit sendiri teks glitter yang akan ditampilkan, lagi-lagi, para ABG yang sedang dalam pencarian jati diri ini memodifikasinya menjadi tulisan yang lagi-lagi alay.

Pada saat itu, mengetik secara alay bukanlah hal yang tabu. Justru dianggap keren dan mengikuti perkembangan pola pergaulan yang sedang nge-trend. Tidak ada yang salah, entah mengapa, tiba-tiba ada arus yang membawa para remaja ke Facebook kira-kira pada tahun 2007.

Migrasi masif menuju Facebook

Facebook adalah situs jejaring sosial yang dibangun pada 2003 oleh seorang nerd Mark Zuckerberg bersama rekannya Eduardo Saverin dari dalam asrama Harvard University. Menurut novel The Accidental Billionaire karangan Ben Mezrich, situs ini bermula dari situs underground Facemash yang digunakan oleh Mark untuk berbuat usil dengan membandingkan wajah-wajah mahasiswi Harvard untuk dicari siapa yang terseksi. Namun, kisah tersebut mudah disangkal karena Mark sendiri pun tidak mengakui faktualitas novel tersebut.

Di Indonesia, Facebook menjadi “lahan hidup” baru yang lebih prestisius bagi para ABG di dunia maya. Remaja yang punya atau lebih dulu punya akun Facebook dianggap sebagai anak keren. Sedangkan remaja lain yang belum ingin beranjak dari Friendster atau bahkan tidak mengetahui cara mendaftar bahkan keberadaan Facebook, bakal dianggap remaja culun yang terbelakang.

Kebanyakan pengguna Facebook adalah mantan pengguna Friendster yang umumnya alay sedangakan Facebook sendiri lebih banyak menghadirkan page-page milik artis, institusi, maupun organisasi yang dirasa sebagai akun “serius” sebagai ajang promosi. Hal ini sedikit demi sedikit meruntuhkan tradisi alay seperti pada Friendster.

Alih-alih hilang, tradisi alay di Facebook justru menjelma ke dalam bentuk baru. Seperti pada tulisan ini: “haii… appa kabarh.muu?? agku disini gug sabar nunggku kammuh dateng”. Bila dicermati, alay a la Facebook menghilangkan kebiasaan mengganti huruf dengan karakter lain yang mirip, serta jarang dilihat penggunaan huruf kapital, apalagi bagi mereka yang biasa membuka Facebook di komputer karena tidak ada fasilitas pengkapitalisasi otomatis. Dan yang sedikit menggelitik adalah bahwa mereka justru menjadikan jumlah karakter pada tiap lebih banyak jika dibandingkan dengan cara penulisan normal.

Pada remaja yang terbebas dari belenggu pergaulan remaja yang sempit setelah melihat “luasnya” lahan Facebook, tradisi alay bahkan hilang sama sekali. Pada gilirannya, mereka pun mulai berpikiran bahwa tidak ada gunanya meng-update status setiap 5 menit sekali atau setiap kali akan melakukan kegiatan pribadi. Mereka mulai menyadari akan eksistensi batas antara privasi dan publisitas.

Mungkin, pada saat itu, mereka akan segera mendapatkan gagasan untuk menumpahkan unek-unek maupun kegiatan pribadinya pada lahan baru yang belum banyak terjamah oleh rekan-rekannya. Twitter adalah solusinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun