Mohon tunggu...
puspita dian ariyanti
puspita dian ariyanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia SMAN 3 PPU

mengungkapkan rasa dengan sejuta kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihan yang Rumit

18 Januari 2024   14:54 Diperbarui: 18 Januari 2024   14:59 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber (pixabay.com)

PILIHAN YANG RUMIT

 

          Malam itu di ruang keluarga, mama membahas jumlah uang yang harus diberikan kepada ketiga anaknya yang duduk di bangku SMP dan SMA. Si sulung Pandi mendapatkan uang saku dan uang taksi sebesar tujuh puluh ribu rupiah, Yanti anak kedua yang masih duduk di bangku SMP mendapatkan sebesar dua puluh ribu rupiah yang kebetulan uang itu hanya uang saku karena jarak sekolahannya hanya ditempuh dengan berjalan kaki saja. Begitupun dengan si bungsu, Sasa juga mendapatkan uang jajan yang sama. Namun malam itu mama terlihat galau manakala Yanti akan memutuskan untuk melanjutkan ke SMA Favorit setelah lulus dari SMP yang letaknya cukup jauh sehingga tentu saja ada biaya transportasi yang harus dikeluarkan lebih untuk itu.

Yanti dicecar mama habis-habisan. Ia membeberkan fakta bila Yanti tak akan sanggup bila menjalaninya.

            "Baru sini-situ aja kamu sudah mabok, Yanti. Kok, mau gaya sekolah jauh-jauh naik kendaraan lagi. Cuma ngikuti gengsi Bapakmu aja." Ujarnya lagi sambil berkacak pinggang dan menatap tajam ke arah Yanti. Yanti hanya memandang sekilas ke arah mama dengan senyum kecut.


            "Belum sangumu, belum ongkos taksi bolak-balik, belum bayar SPP. Berapa banyak pengeluaran hanya untuk kamu saja, Yanti." sambungnya lagi.

Nada suara mama semakin meninggi. Ia semakin jengkel dengan anak keduanya itu yang menurutnya terlalu banyak keinginan yang berlebihan sehingga hal itu akan mengurangi jatah uang belanja pemberian suami.

            "Kau pikir kau pintar, Yanti. Yang masuk sekolah favorit itu semua anak jenius. Kamu gak pinter aja bergaya sok pintar." Ucap mama penuh emosi. Sambil sesekali ia menarik hidungnya dan membetulkan sandaran kursi, namun matanya tak beralih dari Yanti. Yanti yang sedari tadi dipojokkan mama akhirnya angkat suara.

 "Kata Bapak, kalau bisa masuk sekolah favorit kenapa tidak, kan dicoba dulu. Toh nilaiku gak jelek-jelek amat. Buktinya nilaiku masuk." Ujar Yanti membela diri.

          Namun Yanti malas untuk melihat sorot mata mama, ia hanya tertuju pada tayangan televisi yang sedang menyiarkan berita siang. Meski sebenaranya Yanti juga tidak fokus mendengarkan berita-berita itu. Suara mama menutupi kerasnya suara televisi. Ingin rasanya Yanti pergi dari situ dan mengurung diri di kamar, namun ia tak dapat melakukannya karena suka tidak suka ia harus mendengarkan jeritan hati mama yang menurutnya pantas untuk didengarkan namun mama salah dalam memilih waktu dan cara penyampainnya. Lebih baik dengan nada yang lembut dan bijak bukan dengan marah-marah dan menyudutkan apalagi mencaci-makinya, tentunya Yanti akan lebih senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun