Jember -- Pusat Studi Hukum Pancasila dan Konstitusi (PUSHPASI) Fakultas Syariah UIN KHAS Jember kembali menggelar Seminar Nasional bertajuk "KUHP Baru dan Kebebasan Sipil: Menakar Konsistensi Reformasi Hukum Indonesia". Kegiatan ini diselenggarakan pada Selasa, 23 September 2025 di Aula Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, sebagai bagian dari rangkaian seminar nasional yang dilaksanakan selama dua hari, Senin--Selasa, 22--23 September 2025.
Seminar ini merupakan kelanjutan tema dari webinar PUSHPASI yang sebelumnya digelar pada Sabtu, 30 Agustus 2025 dengan tajuk "KUHP Baru dalam Masa Transisi: Harapan Reformasi atau Ancaman Kebebasan Sipil?". Jika webinar sebelumnya menyoroti konteks transisi dan tantangan awal KUHP baru, maka seminar kali ini lebih menekankan pada konsistensi reformasi hukum dan dampaknya terhadap kebebasan sipil, dengan menghadirkan narasumber yang berbeda.
Dua narasumber utama hadir dalam kegiatan ini, yakni Yudha Bagus Tunggala Putra, S.H., M.H., dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, dan Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember. Diskusi difokuskan pada perdebatan seputar pasal penghinaan Presiden dalam KUHP baru serta implikasinya bagi perlindungan kebebasan sipil dan konsistensi reformasi hukum pidana nasional.
Direktur PUSHPASI, Dr. Basuki Kurniawan, S.H., M.H., dalam sambutannya menegaskan bahwa isu ini sangat relevan dengan kondisi demokrasi kontemporer. "Sebagai pusat studi, kami memiliki tanggung jawab menghadirkan ruang diskusi akademis yang kritis dan solutif. Isu KUHP baru harus kita kawal bersama agar tidak menjauh dari semangat reformasi hukum," ujarnya. Dr. Basuki juga mendorong agar hasil seminar tidak berhenti pada diskusi, melainkan dirumuskan dalam bentuk policy brief sebagai rekomendasi akademik untuk para pembuat kebijakan.
Acara kemudian dibuka secara resmi melalui Opening Speech oleh Wakil Dekan IIIÂ Fakultas Syariah, Dr. Ahmadiono, M.E.I. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini serta mendorong mahasiswa untuk aktif mengawal isu-isu hukum pidana dan demokrasi. "KUHP baru memang sebuah capaian besar, namun pasal-pasal kontroversial seperti penghinaan Presiden harus dikritisi agar tidak menjadi alat pembatas kebebasan sipil. Melalui forum ini, kita berharap mahasiswa mampu memberikan perspektif kritis untuk menjaga demokrasi," ungkapnya.
Dalam pemaparan materi, Yudha Bagus Tunggala Putra menjelaskan bahwa pasal 218--220 KUHP berpotensi menjadi kemunduran hukum karena membuka peluang kriminalisasi terhadap kritik publik. Ia menekankan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang dijamin konstitusi, meski bukan hak absolut. "Kritik adalah bagian dari demokrasi, sedangkan penghinaan tidak dapat dibenarkan. Sayangnya, KUHP baru belum memberikan batasan yang jelas," terangnya.
Sementara itu, Prof. M. Arief Amrullah menyoroti bahwa pasal penghinaan Presiden rawan dimanfaatkan sebagai instrumen politik. Ia menyatakan bahwa tanpa parameter hukum yang tegas, aparat penegak hukum bisa menafsirkan pasal secara subjektif. "Pasal ini dapat dijadikan alat untuk membungkam lawan politik maupun menekan oposisi. Itu sebabnya, implementasinya harus dikawal dengan pedoman yang transparan," ujarnya.
Acara ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting, di antaranya perlunya aturan turunan yang membedakan kritik, opini, satire, dan penghinaan; pedoman penegakan hukum yang proporsional; peningkatan literasi publik mengenai kebebasan berekspresi; serta mekanisme pengawasan independen untuk mencegah politisasi pasal.
Dengan terselenggaranya seminar ini, PUSHPASI menegaskan komitmennya untuk terus menjadi ruang akademik yang kritis dalam mengawal dinamika hukum pidana nasional, sekaligus memastikan bahwa reformasi hukum berjalan konsisten dengan nilai demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Penulis: Eka Faizin Hidayat