Oleh: Purwanti, S.Pd
Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru
Di balik tawa riang anak-anak di halaman sekolah, ada suara lirih yang tak terdengar: jeritan batin dari mereka yang menjadi korban perundungan. Ironisnya, banyak dari kita---guru, orang tua, bahkan siswa sendiri---telah menganggap perundungan sebagai hal yang biasa, bagian dari candaan, kenakalan wajar, atau bahkan proses "penguatan mental".
Namun benarkah demikian?
Normalisasi Kekerasan di Balik "Bercanda"
Perundungan (bullying) kerap dibungkus dengan lelucon, ejekan yang dianggap lucu, atau olok-olok yang katanya "biasa saja". Padahal, candaan yang menyakitkan bukanlah humor, melainkan kekerasan terselubung yang bisa melukai lebih dalam daripada tamparan. Di sekolah, tindakan ini sering tak terlihat sebagai kekerasan karena dibalut norma-norma sosial yang permisif dan penuh pembiaran.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2023) menegaskan kenyataan pahit ini: kasus perundungan masih menempati posisi atas dalam laporan kekerasan terhadap anak setiap tahunnya. Sementara itu, laporan Global School-based Student Health Survey (GSHS) oleh WHO (2022) menunjukkan bahwa sekitar 41% remaja usia 13--17 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan.
Jika lebih dari sepertiga siswa kita pernah menjadi korban, maka jelas ini bukan sekadar "kenakalan anak-anak". Ini adalah darurat moral.
Ketika Sekolah Kehilangan Fungsinya sebagai Ruang Aman
Perundungan tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dalam sistem sosial yang kadang tak sadar membiakkannya. Ketika guru menganggap ejekan sebagai "latihan mental", ketika teman menertawakan penderitaan temannya, dan ketika sekolah membiarkan kekerasan sebagai bagian dari dinamika sosial, maka nilai-nilai pendidikan telah mengalami erosi.
Gaffney dkk. (2019) menegaskan bahwa budaya sekolah yang membiarkan kekerasan dalam bentuk apa pun---baik fisik, verbal, maupun psikologis---berkontribusi pada pembentukan norma-norma yang membenarkan perundungan. Sementara itu, Thornberg & Wnstrm (2018) menunjukkan bahwa peran guru yang aktif dan responsif menjadi kunci penting dalam memutus rantai perundungan.
Sayangnya, sebagian dari kita masih diam. Dan dalam diam itulah kekerasan tumbuh subur.