Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyingkap Trauma Tersembunyi

5 Juli 2012   17:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:16 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana kita bisa mengetahui adanya trauma. Secara umum ada empat level trauma:

Pertama, level personal. Setiap manusia pasti pernah mengalami stress. Itu adalah hal yang normal. Namun jika stress tersebut berlangsung terus-menerus selama 30 hari maka hal itu sudah tidak normal lagi. Perlu ada penyelidikan kemungkinan ada trauma. Trauma personal terjadi di dalam diri seseorang. Ciri-cirinya, dia merasa khawatir dan tidak enak. Dia merasa ada sesuatu yang salah tapi dia tidak tahu apa itu. Kedua, adalah level komunal. Trauma ini terjadi di dalam masyarakat. Baik itu di dalam komunitas maupun di antara komunitas. Ketiga adalah level nasional. Keempat adalah level internasional.

Derajat viktimisasi trauma juga berbeda. Ada orang yang menjadi korban primer. Orang ini mengalami langsung kejadian traumatik itu. Level kedua adalah orang yang melihat atau mendengar kejadian itu dari korban primer. Orang ini sebenarnya tidak mengalami kejadiannya, namun setelah mendengar cerita dari korban primer maka dia mengalami trauma juga. Dia disebut korban sekunder. Level ketiga disebit korban tersier. Orang ini mengalami trauma akibat dari korban sekunder. Pembagian level ini dibuat untuk membedakan penanganan pemulihan. Setiap level korban memiliki kebutuhan dan karakteristik yang berbeda.

***

1341507505323077534
1341507505323077534

Dalam pendekatan klinis, pemulihan trauma dilakukan berdasarkan gejala yang tampak. Sedangkan dalam pemulihan berbasis masyarakat, pemulihan trauma dilakukan dengan mencari akar penyebab trauma tesebut. Ada beberapa kategori trauma dalam pendekatan berbasis masyarakat:

  1. Trauma transgenerasi, yaitu trauma yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kadang ada masyarakat yang sengaja mempertahankan trauma tersebut dengan tujuan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Contoh paling mutakhir adalah trauma serangan 11 September. Setiap tanggal tersebut televisi mengulang-ulang video ketika pesawat menabrak menara kembar. Mengapa stasiun televisi tidak menayangkan pemulihan yang dialami oleh korban tragedi itu? Rupanya itu disengaja untuk melindungi kepentingan nasional Amerika. Mereka sengaja memelihara trauma itu. Trauma ini dapat diturunkan dalam bentuk sejarah, musik, video games, dll.
  2. Trauma yang tidak disadari. Masyarakat tidak menyadari kalau memiliki trauma.
  3. Trauma majemuk. Masyarakat mengalami kejadian traumatik berulang-ulang. Akibatnya mereka menjadi mati rasa. Sudah tidak ada lagi perasaan sedih. Istilah populernya, "air mata sudah kering." Contohnya: korban tsunami mengalami trauma karena goncangan gempa. Setelah itu dihempas oleh gelombang tsunami. Saat mengungsi, mereka melihat mayat bergeletakan dan puing-puing berserakan. Hal itu menimbulkan trauma. Ketika berada di barak pengungsian, mereka hidup di lingkungan yang tidak layak. Trauma yang bertubi-tubi terakumulasi di dalam batin pengungsi.
  4. Shared trauma. Sebenarnya hanya ada satu orang yang semula mengalami trauma. Namun karena adanya solidaritas, maka seluruh anggota ikut merasakan trauma. Contohnya, anggota satu gang diserang, maka seluruh anggota gang merasakan trauma.
  5. Trauma karena pilihan. Trauma terjadi pada seseorang dengan cara mengidentifikasikan diri dalam sebuah trauma. Mereka menciptakan trauma untuk diri sendiri.
  6. Trauma ekologis: Tanah sekarat. Gunung tidak ada hutan lagi. Lingkungan juga mengalami trauma.


Bagaimana cara memulihkan trauma? Ada yang menyarankan agar si korban berusaha melupakan kejadian itu. Akan tetapi Al justru menyarankan sebaliknya. Jika kita mengalami trauma, maka kita justru harus remembering (mengingat lagi). Kata remember berasal dari kata re (kembali) + member (anggota). Al menjelaskan, saat trauma terjadi, maka kita terpisah (dismember) dengan kehidupan lama kita. Kehidupan normal kita terenggut oleh trauma. Sama seperti hiasan daun dan bunga yang rusak, kehidupan kita menjadi 'rusak' ketika mengalami trauma.

Dengan melakukan remembering, kita mengingat kejadian traumatik itu sembari menerimanya sebagai bagian dari kehidupan kita. Dengan begitu, kita mulai dapat memulai lagi kehidupan baru kita.

Al memberi ilustrasi dengan merapikan kembali tempelan bunga dan daun yang pernah diremas dan disobek-sobeknya. Proses merapikan kembali ini melambangkan upaya pemulihan trauma.

13415075501765861678
13415075501765861678
Merapikan

"Di dalam pemulihan trauma, kita tidak dapat berharap kembali pada kehidupan asli" ujar Al. Meskipun sudah dirapikan namun bekas-bekas lipatan dan sobekan pada kertas tidak bisa hilang. Bahkan ada bagian tertentu yang tidak bisa dikembalikan lagi. Demikian juga dalam pemulihan trauma, kita tidak bisa mengembalikan situasi pada kehidupan yang sama persis sebelum terjadi trauma. Meski begitu, di dalam pemulihan trauma ini masyarakat diajak untuk melanjutkan kehidupannya. Kalau bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan sebelum terjadi trauma.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun