Mohon tunggu...
Pungky Prayitno
Pungky Prayitno Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bentuk lain ultraman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Badut Selangkangan

25 November 2010   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semuanya blur. Pandanganku tinggal bayangan-bayangan kehitaman yang sesekali memutih. Engah nafas mengguncangkan tubuhku. Sempoyongan aku terus berusaha berdiri. Tidak. Tidak ditempat seperti ini aku kalah. Bertahan. Sampai engah nafas dalam mengakhiri pertahananku. Aku ambruk. Beserta sekotak makan siang yang kini tak lagi berbentuk. -------------- Kalau bukan karena ibu, tidak akan aku mengiyakan permintaan ayah. Ibu adalah alasan. Iya. Ibu adalah kenapa aku selalu diam dan terbungkam. Perasaan ibu menjadi alasan. Dan masa depan adik kecil menjadi taruhan. Senyum ibu yang membuat aku keluar rumah setiap jam makan siang. Sekotak makan siang penuh cinta yang membuat aku harus menjadi kesetanan dalam perjalanan dari rumah ke... kantor ayah! Mengantar makan siang untuk ayah bukanlah hal yang aku suka. Aku benci. Aku benci ketika ibu memintaku mengantar sekotak makan untuk ayah ke kantornya. Aku benci ketika mobilku melaju menyusuri jalan besar menuju kantor ayah. Aku benci berhadapan dengan gedung 17 lantai tempat ayah siap tersenyum menyambutku datang. Dan tapi, hal yang paling aku benci adalah ketika sampai depan ruangan ayah. Mengetuk pintu ruangan ayah adalah neraka! "siang tante Dian.." "siang Sabrina.. nganter makan siang buat ayah ya?" Tante Dian tersenyum miris. Aku tau apa yang tak terucapkan dari gerakan terakhir di bibirnya. Selalu seperti ini. Membalas dengan senyum lalu menuju ruangan ayah tempat nerakaku dimulai. Tempat aku dan hatiku tak lagi pernah dipikirkan siapa-siapa. Tante Dian, Mungkin sekertaris kesayangan ayah ini satu-satunya orang yang mengerti bagaimana aku mendidih ingin membakar ruangan ayah beserta seluruh isi di dalamnya. dan tuhan. si maha itu pasti sangat tau kalau mimpi terbesarku dalam hidup adalah menghabisi ayah dengan tanganku sendiri. Tidak! Ayah belum harus mati. Ibu menunggu kotak makan siang ini kosong di rumah. Tok. Tok.. "ayah..." Suara ku berteriak dengan tenaga tak seberapa. Habis. Energiku habis untuk mengatur buruan nafas ketika bersiap diri mengetuk pintu ruangan ayah. Bukan. Bukan mengatur nafas. Mengatur nafsu untuk membunuh mungkin terdengar lebih tepat. "Sasa.. sini masuk" Ayah membuka pintu. Tersenyum manis. Di belakangnya menyambut seorang perempuan terduduk membetulkan kancing seragam merahnya dengan senyum yang tak kalah manis. "hay honey.. sini masuk.." Aku menggeleng. Nafasku memburu ingin membunuh. Ingin menampar ayah dan mendorongnya keluar jendela. Ingin menjambak si perempuan berambut gelombang lalu memisahkan kepala dengan tubuhnya. Dan lalu menghidupi ibu serta adik kecil di desa yang biaya hidupnya tak butuh kerja mewah begini segala. "Sasa.. masuk!" Ayah setengah membentak. Aku maju beberapa langkah. Berhenti tepat di sebelah sofa tempat si perempuan badut terduduk. Ayah menutup pintu. Selalu begitu. Pelacur dengan seragam sales promotion girl perusahaan asuransi ini selalu aman diketiak ayah. "Sasa udah gak tahan!" "ngomong apa kamu? "anak gadis mana yang tahan kalau setiap siang harus liat ayahnya selingkuh sama SPG di kantornya begini! Sedangkan makan siang dari ibu gak pernah absen datang untuk ayah!" Si badut dengan seragam merah tersenyum ke arahku. Iblis! Jangan pikir dengan senyumnya dia bisa membuatku menerimanya untuk bermesraan dengan ayah setiap hari. Ah, ibu! Kalau saja cintanya yang berlebihan tidak pernah kupikirkan. Dan kalau saja soal ayah tidak akan membuat ibu terluka. Sudah kuhabiskan pelacur ini beserta selingkuhannya sekalian! Bangsat! "Sasa honey.. kok kamu gitu sih.. kamu gak sayang ya sama tante.." Lagi. Si pelacur membela diri. "Sasa capek. Sasa sakit, yah! Sasa mau ayah tinggalin tante Nina. Selamanya" Muka ayah memerah. Marahnya sudah akan menyerangku hingga besok siang lagi. Pasti, setelah ini tak ada jatah uang kuliah sampai semester depan. "Sasa!!" ayah membentak. Si pelacur beranjak mendekat. "honeeeeey... kamu tega sama tante? Tega kamu sayang? Kalau ayah kamu ninggalin tante, nanti adik baru kamu makan apa, Sasa.." Adik baru ? a adik? Badut selangkangan ini hamil? Ha hamil? Anak ayah? Aku menatap ayah membelalak. Ayah mengangguk. Brakkk! Pergi. Pergi Sasa.. pergi.. ------ "Sabrina.. kamu gapapa? Tadi mama kamu nelpon tante. Katanya kotak makan siang ayah jangan lupa dibawa pulang lagi.." blur. purwokerto. 25 november 2o1o

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun