Mohon tunggu...
pungkaspung
pungkaspung Mohon Tunggu... Buruh - Hanya buruh yang butuh nulis

Hanya peminum kopi tanpa disertai senja, karena dominasi kopi dan senja akan membuat saya tidak kerja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sambatan Golputers Pasca Pemilu

18 April 2019   10:57 Diperbarui: 18 April 2019   11:47 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: medium.com/sayagolput

Sambat adalah jalan ninjaku untuk mengarungi terjalnya lika-liku kehidupan. Sambatanku kali ini sengaja saya publikasi di Kompasiana, mungkin karena khalayak Kompasiana terpantau ramai lancar dalam menghadapi pemilu kali ini. Tak ada konflik yang berarti saat sebelum dan sesudah pemungutan suara, kecuali konflik pada golputers yang sempat beberapa kali menggoyang stabilitas kedamaian kompasiana.

Golputer dianggap bertanggung jawab atas guncangan demi guncangan yang melanda Kompasiana. Tentunya guncangan berbentuk opini demi opini dan panjangnya kolom komentar tepat di bawah artikel yang ditulis Kompasianer, dapat menghangatkan stabilitas Kompasiana.

Namun pantaskah golputer dipersalahkan atas banyaknya orang lain yang golput? Jika menilik pasal 531 UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang menyatakan bahwa barang siapa yang menghalangi orang untuk memungut suara akan dikenakan hukuman penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal 24 juta rupiah. Golputer yang mencekoki orang lain dengan teori-teorinya rasanya tidak termasuk ke dalam usaha menghalangi orang menyumbangkan suara.

Kalau klausula seperti itu dapat menjebloskan ke penjara seorang golputer, harusnya para juru kampanye (jurkam) juga dijebloskan ke penjara. Ya iya dong, kalau jurkam mengajak untuk ganti presiden atau tetap presiden dengan fakta yang ada saja bebas masuk tv, kenapa golputer yang sama-sama menyuarakan fakta harus dikenakan pasal pemaksaan dengan kekerasan? Ingat keduanya sama-sama beropini dengan pemaparan fakta yang ada.

Bahkan kemarin juga ada pendemo dengan ajakan golput di bali langsung diseret ke kantor polisi. Alasannya tak berizin dan mengajak untuk golput di masa tenang. Pak polisi, saya tahu bapak sebenarnya tahu, tapi pak polisi memilih seakan tak tahu. Jika bapak melihat Inews TV, iklan partai Perindo bertebaran di sana pak. 

Masa tenang tapi ada ajakan, memang ajakannya memilih bukan ajakan golput seperti yang ditulis pendemo di kertas karton berwarna pink. Tapi keduanya sama-sama mengajak.

Harusnya yang ditangkap itu bukan hanya mengajak golput, tapi yang memaksa golput. Saya tidak mau menuding siapa yang memaksa golput, saya hanya memberikan kisi-kisinya saja. Yang memaksa golput itu adalah mereka yang memberikan keterangan, "oh ini baru bisa nyoblos nanti setelah jam 12". Setelah jam 12 dikunjungi lagi malah berkata, "maaf kertas suara habis pak".

Karena sakitnya diajak untuk golput, rasanya masih lebih sakit sudah antri panjang atau bolak balik ke tempat pemilu tapi tidak bisa memberikan suara. Bukankah itu kekerasan pak? Masak ya ngajak, "ayo golput!". Lebih kejam dari pada membiarkan pemilih antri panjang, namun berujung tidak dapat memberikan suara? 

* sambatan saya kali ini bukan untuk mengkriminalisasi, tapi mbok ya jangan kriminalisasi kita yang ngajak golput.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun