Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN

Seorang pembelajar yang Ingin terus mengasah diri

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Hilal di Lereng Slamet

23 Mei 2020   09:15 Diperbarui: 23 Mei 2020   09:13 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisma satria/domumen Imron ihwanudin--dokpri

Hilal telah tampak. Tuti merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dari masjid yang di luar sana, telah terdengar sayur-sayup takbir berkumandang. Hari ini Tuti telah dinyatakan negatif Covid-19. Tuti mengingat kembali hari demi hati yang telah terlewati di sini.

Puncak gunung Slamet tak tampak lagi. Siluet langit senja tak  mampu menyinari puncaknya yang menjulang tinggi. Temaram suasana malam mulai terasa. Suara tenggeret mulai bersahut-sahutan. Membuat suasana semakin mencekam saja terasakan.

Sore ini adalah memasuki minggu ke dua bagi Tuti merasakan sepinya suasana isolasi. Kepulangannya dari luar negeri untuk berkumpul berlebaran bersama keluarga harus terjegal aturan karantina bagi siapa saja yang positif dalam pemeriksaan Covid-19.

Walaupun Tuti tidak merasakan gejala apapun,  namun hasil rapid tesnya ternyata reaktif. Tidak ada kebijakan lain yang bisa dilakukan kecuali  ikut di karantina di wisma Satria sesuai kebijakan Pemdanya.b

Lebaran kali ini memang Tuti sudah berencana mengambil cuti untuk pulang ke Indonesia setelah ujian semester selesai. Tuti yang sedang mengambil program beasiswa S3 di negeri tirai bambu tidak menyangka kepulangannya akan jadi bencana bagi keluarga.

Bersama dengan pandemic Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, Tuti yang mendapatkan izin untuk pulang libur semester ternyata tertular virus ganas tersebut. Entah darimana dia tertular, namun ketika turun dari pesawat di bandara Jogjakarta ternyata hasil tesnya dinyatakan positif.

Ibunya yang sudah renta tinggal sendiri di rumahnya. Kakak perempuannya yang sudah brrkeluarga tinggal tak jauh dari rumah ibunya. Anak kakaknya ada 5 orang dan masih kecil-kecil. Di samping mengutus ana dan suaminya, kakaknya juga mengurusi keperluan ibunya. Sungguh repot selama ini. 

Tidak mungkin Tuti isolasi di rumahnya. Takut ibunya tertular. Tidak ada yang mengurus keperluannya. Untuk itu akhirnya Tuti memutuskan ikut isolasi di tempat yang telah disediakan pemerintah. 

Kepulangannya kali ini sungguh terasa menyesakkan dada. Kerinduan pada ibu dan saudara-saudaranya belum tersampaikan namun Tuti harus meninggalkan mereka dan tinggal di tempat karantina. 

Termasuk teman spesialnya Rizal yang menjadi tujuan kepulangannya juga belum bisa ditemui hingga kini. "Ah, Covid-19 telah mengacaukan rencananya", desah Tuti yang sore itu hanya duduk merenung di depan kamarnya.

Sore ini Tuti memang hanya tinggal sendiri. Teman isolasinya yang lain  telah dinyatakan negatif dan sudah dipulangkan tadi sore.  Sungguh kesepian yang sangat menyayat hati. 

Sekian lama berada di negeri Cina yang terkenal dengan kemajuan peradabannya itu tidak membuatnya lupa dengan kampung halaman. Ibu dan ponakan-ponakannya yang menggemaskan membuat kerinduannya semakin menggunung. Tinggi menjulang bagai gunung Slamet yang berdiri dengan anggunnya tepat di mana Tuti duduk dan memandang ke depan.

Tiba-tiba datang menghampirinya petugas kesehatan yang menjadi relawan menyapanya, "Apa kabar mba Tuti, belum istirahat nih,  masih duduk di depan kamar saja?" 

"Eh, iya nih belum, Mba Rani sendirian juga, mana mba Dewi?" Tanya Tuti menanyakan teman dinas mba Rani  yang biasanya ikut mengontrol kesehatannya juga.

"Oh, Dewi lagi mengerjakan tugas laporan di kantor, tadi Saya lihat mba Tuti duduk sendiri sambil ngelihatin gunung, kelihatannya asyik banget" jawab Rani.

"Mba Rani dah berapa lama dinas jadi rekawan, sebelumnya dimana? Tanya Tuti.

"Sehari sebelum mba Tuti datang Saya nyampai di sini bareng Dewi, Kami sama-sama perawat di Puskesmas" Jawab Rani.

Akhirnya mereka bercakap-cakap menghabiskan waktu di sore itu sambil menikmati jatah makan sore yang barusan dikirimkan oleh relawan  dari Satpol PP. 

Hari demi hari Tuti lewati di karantina tersebut hingga pada pemeriksaan yang berikutnya dinyatakan negatif. Tuti diperbolehkan pulang dari karantina.

Tuti menghubungi Rizal untuk bisa menjemputnya di karantina. 

"Assalamualaikum wr.wb Mas Rizal, bisa jemput Tuti di wisma Satria?"  WA kepada teman spesialnya itu. 

Tidak lama kemudian ada jawaban masuk ke WA nya " maaf Tuti, aku tak bisa jemput, ini ada kegiatan yang tak bisa ditinggalkan". 

Melihat jawaban WA demikian, hati Tuti yang tadinya berbunga-bunga langsung menciut dan rasa sedih memenuhi hati yang selama ini merasa sepi tersebut.

Sekian hari Tuti berharap bisa bertemu dengan kekasih yang sudah ditinggalkan selama setahun setengah itu ternyata untuk menjemputnya hari ini saja tidak berkenan. " Ada apa dengan Mas Rizal?", desah Tuti.

Hari ini terahir berpuasa di bulan Ramadan dan Tuti dinyatakan negatif Covid-19 adalah sebuah kebahagiaan baginya yang terkira. Namun ternyata kebahagiaan itu harus bertolak belakang dengan keinginannya bertemu kekasihnya. 

Dengan perasaan tidak karuan Tuti memegang surat pernyataan negatif Covid-19 tersebut. Akhirnya Tuti memutuskan untuk  pulang sendiri ke rumahnya. 

Selesai beberes barang yang dimilikinya, Tuti berniat mencari kendaraan untuk pulang. Ketika Tuti bersiap untuk memesan ojek  online tiba-tiba relawan satpol PP yang bernama Heru menghampirinya. 

"Mba Tuti mau pulang naik apa?" Ada keluarga yang menjemput?" Tanya Heru.

"Mungkin mau naik ojek online saja Pak. Kebetulan keluarga tidak bisa menjemput." Jawab Tuti.

"Bagaimana kalau ikut dengan Saya saja? Kebetulan Saya pulangnya lewat daerah Mba Tuti tinggal. Ga papa kan pakai mobil satpol PP?" Tanya heru.

"Alhamdulillah, boleh Pak, terima kasih sekali kalau seperti itu." Jawab Tuti.

Begitulah sore itu Tuti meninggalkan tempat karantina itu. Empat belas hari sudah sia tinggal di sana dalam kekhawatiran dan kesepian. Walaupun ada beberapa peserta karantina lain dan petugas relawan yang berjaga namun mereka nyaris tidak saling berinteraksi. Hanya dengan perawat yang memeriksanya kadang Tuti masih bisa berbicara.

Empat belas hari yang menyesakkan dada. Kini telah terlewati. Tuti mengucap syukur akhirnya dinyatakan negatif dan masih ada waktu untuk bertemu dengan keluarganya. Melepas kangen yang selama ini bertumpuk dan ditambah lagi dengan keharusan masuk isolasi di wisma yang biasanya untuk pelatihan tersebut.

Tuti berharap ke depannya masih bisa memanfaatkan waktu untuk bercengkrama dengan keluarga dan masyarakat di sekitarnya serta tentu saja mas Rizalnya yang juga sangat dirindukannya.

Sore itu di bawah hilal bulan Syawal  Tuti pulang dari wisma diantar relawan yang juga sangat bahagia karena tugasnya telah berakhir. Heru juga berharap tak ada lagi pasien yang harus dkarantina di sana. 

Berhari-hari harus bertugas menjadi relawan bersama dengan beberapa petugas kesehatan , kpolisian, tentara, petugas gizi dan yang lainnya sungguh sangat tidak nyaman.

Di bawah bayang-bayang ketakutan tertular mereka bertugas. Demi kemanusiaan mereka bertahan. Alhamdulillah bersama dengan kesucian bulan Syawal Covid-19 telah dinyatakan negatif, tidak ada penambahan kasus baru.

Semoga ke depannya tidak ada lagi pendatang di wisma Satria ini untuk dikarantina lagi. Masyarakat yang patuh selama ini untuk berdiam di rumah saja, tidak mengadakan aktivitas kumpul-kumpul, selalu memakai masker  dan sering cuci tangan merupakan bukti mereka telah hidup berdamai dengan Covid-19.

Tidak akan lama lagi tentu masjid akan segera digunakan sebagai tempat ibadah, pasar dan mall akan biasa lagi aktivitasnya. Namun kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan tidak akan menghilang.

Walau Covid-19 masih ada, namun tidak lagi sebagai wabah.

Sebuah hikmah yang besar untuk merubah pola hidup masyarakat. Dari Covid-19 kita telah banyak belajar arti sebuah aktivitas berkeluarga, arti menjaga kesehatan untuk diri, keluarga dan orang lain, tidak mau tertular dan menularkan, arti ibadah yang sesungguhnya, ternyata beribadah di masjid, secara berjamaah adalah sebuah kebutuhan. 

Arti sebuah gotong royong solidaritas bermasyarakat saling membantu bagi yang kekurangan.

Kalau sebelumnya kita tak peduli dengan kebersaman dalam keluarga, tak peduli dengan arti ibadah berjamaah dan tak peduli dengan kehidupan bertetangga, kali ini kita bisa merasakan itu semua.

Dari Covid-19 kita belajar, tak ada yang sia-sia Alkah ciptakan. Mahluk yang teramat kecil tak kasat mata, mengajari kita arti kehidupan. Arti tujuan hidup, teguran untuk kembali mengingat Allah Dzat Yang Menciptakan alam semesta.

Cerita di atas hanya rekaan semata, nama dan tempat hanya sekedar kebutuhan cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun