Mohon tunggu...
Pujasalma Irfani
Pujasalma Irfani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan pada bidang sosial-budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali ke Laut: Menemukan Ulang Jati Diri Nusantara di Era Poros Maritim Dunia

12 Oktober 2025   14:20 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:16 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Laut Natuna di bagian Utara Indonesia (Oleh Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia)

Indonesia sering disebut negara maritim, tapi yang jadi pertanyaan adalah, apakah kita benar-benar berpikir seperti bangsa laut? Isu Natuna dan klaim sepihak Tiongkok atas Laut Cina Selatan membuat pertanyaan ini kembali relevan. Di tengah patroli militer dan dilomasi regional, kita seolah lupa bahwa laut bukan hanya batas negara, melainkan ruang peradaban yang dulu menjadi sumber kekuatan Nusantara.

Jauh sebelum konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diperkenalkan, kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit telah lebih dulu memahami pentingnya mengelola laut. Bagi Sriwijaya, laut merupakan "urat nadi" perdagangan dan diplomasi. Sejarawan Denys Lombard dalam tulisannya mengatakan, "Sriwijaya tidak menaklukkan wilayah, melainkan menguasai arus laut yang menghubungkan dunia India dan Tiongkok." Kemudian, Majapahit melanjutkan tradisi ini dengan armada laut yang kuat serta diplomasi pelabuhan yang cerdas. Ia tak hanya berdagang, tetapi juga membangun jaringan kekuasaan yang menjangkau seluruh Nusantara, yang mana konsep "Nusantara" itu sendiri lahir dari cara pandang Majapahit terhadap laut sebagai pengikat pulau-pulau.

Dalam konteks modern, laut Indonesia menjadi simbol kedaulatan dan pertahanan nasional, terutama di wilayah Natuna. Indonesia berpegang teguh pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) untuk menegaskan hak atas Zona Ekonomi Eksklusif, sekaligus memperkuat kehadiran militer guna menjada sumber daya gas dan perikanan di sana. Namun, hari ini laut kita lebih sering dipandang sebagai ruang pertahanan dan eksploitasi ekonomi. Kita menjaga laut, tapi jarang hidup darinya. Kita sering bicara tentang "Poros Maritim Dunia", tetapi pembangunan nasional cenderung berorientasi daratan daripada kelautan.

Presiden Joko Widodo memperkenalkan visi Poros Maritim Dunia di KTT Asia Timur pada 2014 silam dan dalam pidatonya menegaskan bahwa "laut bukan pemisah, tetapi pemersatu. Kita harus kembali ke jati diri sebagai bangsa bahari." Satu dekade telah barlalu dan visi tersebut telah diperbarui melalui Poros Maritim Dunia 2.0 yang diluncurkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 2024. Dokumen itu menekankan arah baru berupa keamanan laut berkelanjutan, ekonomi biru, dan diplomasi maritim aktif. Artinya, gagasan 2014 tersebut telah memasuki fase implementasi konkret, dan di sinilah nilai-nilai maritim Nusantara menemukan relevansinya.

Semangat keterbukaan dan diplomasi aktif yang dulu membuat Sriwijaya berjaya masih penting bagi Indonesia hari ini, terutama dalam menghadapi ketegangan Laut Cina Selatan. Begitu pula keseimbangan antara kekuatan dan kerja sama yang dijalankan Majapahit, yaitu membangun armada kuat namun juga membangun aliansi. Kini, Indonesia perlu menyeimbangkan kekuatan militer dengan diplomasi ASEAN. Selain itu, semangat kemandirian dalam kekuatan laut seperti kemampuan membuat kapal, memperkuat riset kelautan, dan penguasaan teknologi, merupkaan warisan peradaban yang sudah sepatutnya dihidupkan kembali. Karena laut bukan hanya sumber daya, melainkan identitas, dan bukan sekedar medan perebutan, tapi ruang yang menyatukan berbagai budaya dan etnis di bawah satu kesadaran kebangsaan.

Oleh karena itu, menjadi negara maritim sejati itu tentang cara berpikir, bukan hanya soal letak geografis. Laut merupakan ruang pemersatu, dan Sriwijaya serta Majapahit telah memahami hal itu berabad-abad lalu. Kini, ketika Indonesia menghadapi kompleksitas geopolitik di Natuna, mungkin sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat yang sama dengan memadukan visi modern Poros Maritim Dunia 2.0 dan nilai-nilai historis yang kita punya. Bukan sekedar menjaga laut, tetapi hidup darinya, bekerja di atasnya, dan berpikir dengannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun