Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jurnalisme Netizen, Kelucuan Berbahasa, dan Etika Bersosial Media

5 Juni 2018   09:55 Diperbarui: 6 Juni 2018   13:04 2757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: istimewa

Selalu saja ada hal menarik yang bisa kita cermati di media sosial hari ini. Satu di antaranya ialah tentang fenomena jurnalisme netizen yang popularitasnya boleh dianggap jauh melampaui media massa cetak, dan dari sisi kecepatan informasi, ia lebih unggul daripada media online. Mengapa demikian?

Sebab jurnalisme netizen tidak membutuhkan skill khusus seperti yang dimiliki para jurnalis pada umumnya. Mereka tidak harus memiliki kemampuan menulis jurnalistik dengan benar, tidak perlu mengetahui tentang gramatika, diksi, logika kata dan kalimat. Kemudian, yang jauh lebih penting, jurnalisme netizen tak harus paham etika jurnalistik.

Untuk menjadi jurnalis di media sosial, seseorang cukup memenuhi syarat sederhana: memiliki akun Facebook, memiliki kemampuan menulis ala kadarnya, ditambah mereka harus memiliki jari untuk menekan tombol shutter pada kamera ponsel. Ya, hanya itu. Tak lebih. Tiga kemampuan sederhana itu cukup membuat siapa saja bisa menjadi wartawan di dunia maya.

Sumber: https://www.lawsitesblog.com/
Sumber: https://www.lawsitesblog.com/
Mereka bisa memberitakan apa saja yang berada di dalam jangkauan mata dan telinga mereka, dari kegiatan sosial budaya, jalan berlubang, kecelakaan lalu lintas, kebakaran, peristiwa kriminal, bahkan sampai berita tentang pelakor.

Lewat medsos, mengkritisi kinerja pemerintah juga bisa dilakukan kapan saja. Jika menemukan jalan rusak, cukup "cekrek," lalu aplot ke fesbuk. Kalau ada layanan buruk dari suatu instansi, bisa langsung di-aplot. Kalau ada sesuatu yang bernilai berita, tentu saja dari perspektif jurnalisme netizen, bisa langsung dikabarkan di beranda fesbuk.

Intinya, apa saja yang memungkinkan diunggah ke medsos akan dijadikan bahan "berita". Dampak dari satu postingan itu pun luar biasa, bahkan bisa mengundang ratusan komentar, like, dan punya potensi di-share oleh banyak orang. Bukankah itu jelas jauh lebih dahsyat dibandingkan berita-berita yang muncul di koran yang punya oplah dan jangkauan terbatas?

Berbeda dengan jurnalis beneran yang penuh perjuangan dalam mengumpulkan data, mengolah berita, hingga masuk tahap memproduksi berita, membuat berita versi jurnalisme netizen cukup sederhana. Di sejumlah grup-grup Facebook, misalnya, netizen tak perlu melakukan konfirmasi ke pihak terkait sekaligus memastikan akurasi data, mereka cukup menuliskan peristiwa yang terjadi, tempat kejadian, dan mencantumkan tanggal peristiwa. Soal cara penulisan bebas: boleh menggunakan "tULiS4n 4laY" atau "tlisn yg dsngkat-sngkat."

Di grup-grup medsos yang ada di fesbuk, misalnya, sangat jarang ada tulisan yang rapi dan enak dibaca dengan memperhatikan struktur kalimat dan penempatan tanda baca yang benar. Salah satu faktor utamanya mungkin karena si pemosting tidak memiliki kemampuan menulis dengan baik, tapi, toh, sebagian besar netizen juga tak butuh itu. Yang mereka butuhkan adalah informasi yang singkat, cepat, meskipun tidak padat dan akurat.

Selain soal aturan jurnalistik, sering kali berita ala netizen juga mengabaikan logika. Contohnya, seorang netizen membuat berita di medsos tentang Penerangan Jalan Umum (PJU) yang rusak dan padam selama berminggu-minggu. Di sana, netizen memosting foto tentang gelapnya kondisi jalan di malam hari sambil mengkritik kinerja pemerintah yang dianggap tidak memperhatikan betapa pentingnya PJU untuk pengguna jalan.

Padahal, misalnya, instansi terkait sudah menganggarkan banyak biaya untuk membangun PJU tersebut. Seharusnya, masyarakat jangan langsung menyalahkan pemerintah, jika kerusakan PJU disebabkan oleh perbuatan oknum masyarakat itu sendiri yang kurang kerjaan merusak fasilitas publik.

Ada juga sebagian netizen yang protes karena lingkungan tempat tinggalnya selalu terendam air saat hujan. Sambil mengabadikan genangan air dan sampah yang menyumbat drainase, ia memosting kabar tersebut di medsos sembari mengkritisi kinerja pemerintah. Mestinya ia paham bahwa kebersihan tidak melulu menjadi tugas pemerintah, tetapi juga tugas seluruh masyarakat.

Apa nggak kasihan dengan pasukan kuning yang bekerja tiap hari untuk membersihkan sampah yang dibuang di got hingga sampah yang dibuang dari dalam mobil mewah? Jangan sampai kita yang protes, tapi justru kitalah penyebab bencana itu. Tentu menggelikan sekali jika ada oknum masyarakat yang setiap hari mengkritik kinerja pemerintah, sedangkan got di depan rumahnya sendiri tidak pernah dibersihkan, bahkan ketika warga lain melaksanakan gotong royong, ia hanya nongkrong di pos ronda sambil menonton ceramah agama di Youtube.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun