Mohon tunggu...
Pro Suprapto
Pro Suprapto Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Seorang yang senang sharing pengetahuan melalui tulisan, hobi bersepeda, dan tinggal di jakarta. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mohammad Hatta dan Filosofi Ayam Berkokok

29 Oktober 2015   07:43 Diperbarui: 30 Oktober 2015   01:56 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEMIMPIN yang benar-benar hebat itu dilahirkan, bukan diciptakan.  Itulah inti dari Great Man Theory seperti dikatakan Mark Van Vugt dan Anjana Ahuja dalam The Natural Leader (2015:27). Menurut Van dan Ahuja, seorang individu yang menonjol (the great man) akan muncul pada saat krisis dan menggiring bangsa menuju kemenangan atau menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.

Teori tokoh besar itu sangat pas untuk menggambarkan sosok Mohammad Hatta. Tokoh yang lahir di Fort de Kock (Bukittinggi), Sumatera Barat, pada 12 Agustus 1902 adalah pemimpin yang lahir di tengah-tengah rakyat yang membutuhkan figur yang kuat, teguh dalam memegang prinsip, berani mengambil risiko, berwawasan, dan memiliki intelektual serta pergaulan luas untuk membawa kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda.

[caption caption="Otobiografi Mohhamad Hatta"][/caption]

"Bukan pemimpin kalau masih terpengaruh oleh air mata istri yang tak tahan hidup melarat.”

Hatta memiliki itu semua. Ia telah belajar kepemimpinan dan organisasi dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Kemudian saat menjadi siswa sekolah menengah di Padang pada 1918, ia ditunjuk sebagai bendahara organisasi pergerakan, Jong Sumatranen Bond (Pemuda Sumatera). Aktivitas dalam organisasi dan kepemimpinan terus digeluti sepanjang hidupnya. Dia juga seorang intelektual yang tak hanya mengenyam pendidikan di dalam negeri, tetapi belajar di sekolah tinggi ekonomi Rotterdamse Handels Hogeschool, Belanda.

Selama di Belanda, ia tak melulu belajar akademik, tetapi juga aktif di organisasi pergerakan untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Dia juga aktif menghadiri dan kemudian menjadi pembicara di sejumlah forum organisasi mahasiswa atau kaum pergerakan untuk menentang imperalisme di sejumlah Negara di Eropa. Kesibukannya dalam pergerakan dan berorganisasi, termasuk di Perhimpunan Indonesia (PI) –Hatta adalah Ketua PI terlama, 1926-1930— membuatnya baru bisa menyandang Drs setelah 11 tahun –dari waktu ideal 5 tahun-- kuliah.  

Karena memiliki tingkat intelektual dan berwawasan luas, Soekarno pada 17 Agustus 1945 sekitar pukul 03:00 hanya memercayakan kepada Hatta untuk merancang naskah proklamasi yang dibacakannya beberapa jam kemudian. Kepada Bung Hatta, Soekarno mengatakan, “Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka siding lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.”

Hatta pun tak bisa menolak meski saat itu di salah satu ruang di rumah Marsekal Maeda itu ada Subardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik. Hatta kemudian meminta Bung Karno untuk menulis apa yang ia diktekan. Dalam otobiografi jilid III berjudul Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011:91-92), Hatta mengatakan, kalimat pertama (proklamasi) diambil dari aline ketiga rencana pembukaan UUD 1945, yaitu “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Tapi, kalimat itu belum berisi cara menyelenggarakan revolusi nasional. Lalu Hatta mendiktekan kalimat tambahan: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Pemilik nama kecil Mohammad Athar ini berdarah Minangkabau. Ayahnya, H Mohammad Djamil (30), meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Hatta dan kakaknya, Rafiah, serta ibunya, Siti Saleha, tinggal bersama kakeknya Ilyas bergelar Baginda Marah yang ia panggil Pak Gaek. Ayahnya adalah keturunan ulama besar di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatera Barat. Kakek dari ayahnya adalah pengasuh pesantren yang pada abar ke-19 merupakan pusat pendidikan Islam paling terkemuka di Minangkabau.

Ibunya berasal dari keluarga pedagang atau pengusaha yang secara ekonomi sukses. Selain menjadi pedagang berbagai kebutuhan sehari-hari, Pak Gaeknya dipercaya pemerintah Hindia Belanda untuk memegang pengangkutan pos jalur Bukittinggi-Lubuk Sikaping. Gaeknya juga menyediakan berbagai barang kebutuhan para pekerja di tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Karena usahanya banyak, Pak Gaek mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada anakbuah yang masing-masing bisa mengambil keputusan sesuai wewenang yang diberikan. Usaha jasa pos diserahkan kepada Mohammad Saleh, paman Hatta, tetapi dengan pengawasan sangat ketat dari Mak Gaek (nenek). Pengambilan keputusan masih tetap dipegang Mak Gaek sehingga pamannya tidak berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun