30 September 2020
Sore tadi, mendung. Hujan mengamuk ditimpa gelegar guntur, angin juga masih merongrong. Bendera setengah tiang terpancang di depan rumah, menandakan rasa berkabung itu masih jelas; luka abu-abu dan ironi 55 tahun silam. Di tengah pandemi, tiada nobar film lawas yang menggetarkan akal sehat itu seperti tahun-tahun lalu.Â
Menjelang 30 September, rasanya tidak lengkap jika kita tidak mengilas balik kejadian yang mengguncang negeri. 7 petinggi Angkatan Darat yang menjadi korban, ditambah dengan 1 puteri dari A.H Nasution. Rekat kaitannya dengan suasana politik tempo itu, tak dipungkiri hingga kini, stigma partai terlarang masih melekat kuat di masyarakat.
Terlepas dari luka lama dan panggung politik kala itu, saya menemukan satu buah buku yang patut dibaca."Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam, dan Karma di Balik Tragedi '65"Â buah pena dari salah satu seniman kawakan Indonesia yang karyanya tidak asing di harian Kompas, GM Sudarta.Â
Dimensi buku ini tidak terlalu besar, hanya berukuran 14x20 cm dengan tebal 156 halaman. Bersampul hitam dengan tulisan judul putih dan merah, serta ilustrasi lelaki paruh baya yang memegang kepala dengan raut tertekan: penuh interpretasi yang membuat pembaca menalar dan beropini luas.
Cinta, Dendam, dan Karma
GM Sudarta meracik kata-kata dan merangkai kalimat dalam kesepuluh cerita pendek ini begitu intens dan rapi. Masing-masing cerpen menyiratkan akan kegelisahan orang-orang yang mungkin, kita tidak pernah tahu sebelumnya.Â
Cerita dari sisi lain, yang diulik dari keluarga penyintas diolah oleh GM Sudarta menjadi kisah yang menggetarkan hati. Seperti yang kita telah ketahui bersama, rentetan peristiwa 1965 ini tidak hanya menggemparkan ibukota Jakarta dengan terbunuhnya 7 petinggi militer namun juga menyulut sumbu amarah masyarakat.Â
Pergolakan berdarah di tanah Jawa, diantaranya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, menjadikan beberapa cerita dari buku ini mengambil latar belakang di dua provinsi ini.Â
Mari menelisik sedikit dari satu cerita andalan. "Bunga Tabur Terakhir", sebuah cerita dari percintaan Maryam dan Trimo yang kandas. Keleluasaan aparatur desa menjentikkan kebencian dan ketidaksukaannya pada Trimo, ditambah Trimo dan Maryam yang disangkut-sangkutkan sebagai anggota partai terlarang, memisahkan keduanya dan berakhir dengan kepiluan.Â