Mohon tunggu...
Priyo Wiharto
Priyo Wiharto Mohon Tunggu... Diplomat - Guru

Penggemar Sheila On 7, Suka AS Roma dan Sesekali naik Gunung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memaknai Ujian Sekolah

12 Mei 2023   06:53 Diperbarui: 12 Mei 2023   07:06 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Cobalah perhatikan toko buku akhir-akhir ini. Dua bulan terakhir mudah sekali menemukan buku berjudul ujian sekolah. Judulnya beragam, ada kiat dan sukses, trik menghadapi ujian, detik- detik bahkan dengan pengantar menggoda : disusun berdasarkan kisi-kisi ujian. Toko buku memaknai ujian adalah waktu terbaik meraup nominal untungnya. Siswa di sekolah dianggap pihak yang perlu mendapat uluran tangan dari penerbit agar berhasil menghadapi ujian dengan mendapat nilai baik.

Wajar saja jika di toko buku beredar ribuan buku bertema ujian. Ujian sampai saat ini masih dimaknai sebagai hal yang menakutkan. Beragam cara dilakukan siswa agar bisa melewati ujian dengan selamat. Bimbingan belajar atau les tambahan sepulang sekolah bahkan berjam -- jam berlatih mengerjakan contoh-contoh soal ujian mereka lakukan. Demi mendapat nilai terbaik, mereka rela melakukannya itu yang membutuhkan, waktu, biaya dan tenaga begitu besar.

Bagi orang tua, ujian adalah saat paling pas mengawasi putranya dan memastikan bahwa si anak siap menghadapi ujian. Biaya besar tak berarti apa-apa agar anak mendapat nilai baik di ujian. Mereka mengirimkan anaknya ke bimbingan belajar terbaik dengan biaya hampir sama dengan uang kuliah mahasiswa satu bulan. Mereka mengawasi anaknya 24 jam penuh. Mereka akan marah jika anaknya tidak memanfaatkan waktu untuk belajar, belajar dan belajar. Ujian dimaknai orang tua sebagai gengsi dan harga diri. Mereka merasa malu jika anaknya gagal dalam ujian. Banyak orang tua mengawasi kegiatan belajar putranya saat menjelang ujian saja. Hari-hari di luar itu, orang tua seolah lepas tanggung jawab mengingatkan anaknya untuk belajar. Para orang tua lupa belajar tak hanya menjelang ujian namun anak harus diberikan pemahaman akan pentingnya belajar sepanjang hayat.

Bagi Sekolah, Ujian menjadi gengsi dan harga diri. Kehormatan sekolah ada di tangan siswa-siswanya. Sekolah tak rela bila ada salah satu siswanya gagal dalam ujian. Kalau bisa pihak sekolah memberi target 100% lulus ujian. Kelulusan seperti ini dianggap menaikkan derajat. Bahkan kalimat lulus 100%  ditulis begitu besar pada setiap pengumuman penerimaan peserta didik baru. Ujian penentu keberhasilan seorang guru. Maka tekanan guru mapel ujian terasa lebih berat. Guru tersebut harus memberikan waktu tambahan untuk para siswanya.

Saat Ujian Nasional (UN) berganti menjadi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) sekolah berlomba lomba untuk menuju UNBK. Mereka ingin terlihat bahwa sekolanya siap menyelanggarakan UNBK. Beragam cara mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan computer di sekolahnya. Dari membeli computer sendiri sampai meminjam laptop siswanya. Bagi sekolah, bisa menyelanggarakan UNBK adalah gengsi tersendiri. Sekolah yang mampu mengadakan UNBK terlihat maju dan keren. Mereka kadang lupa memikirkan daya dukung sekolahnya seperti fasilitas atau kesiapan siswanya menghadapi UNBK. Bahkan di hari pertama UNBK SMK terjadi masalah seperti Koneksi ke server tersendat bikin peserta UNBK terganggu kerjakan soal (tribunnews.com 3/4/2017).

Ujian sekolah dimaknai beragam bagi yang berkepentingan.Wakil Presiden Jusuf Kalla begitu yakinnya bahwa ujian di negeri ini dibutuhkan saat terjadi polemik tentang ada tidaknya ujian. Beliau beranggapan ujian adalah alat ukur kemajuan suatu daerah. Dari hasil ujian, pemerintah bisa membuat langkah-langkah strategis untuk membantu kemerataan pendidikan. Tapi kenyataannya, sampai saat ini masih ada berita kelas-kelas roboh, kekurangan guru, jauhnya akses menuju sekolah. Pemerintah tidak belajar atas kasus yang selalu berulang.

Pemerintah terkesan memaksakan UNBK. Seharusnya pemerintah membenahi fasilitas sekolah di awal. Seperti pengadaan fasilitas komputer di semua daerah. Pemenuhan akses jaringan internet di daerah-daerah terpencil, terluar dan tertinggal. Pemerintah lupa bahwa kemajuan pendidikan harus merata tidak terpusat pada daerah-daerah tertentu.

Tokoh sekaliber Ki Hajar Dewantara memakanai ujian sebagai suatu perjuangan. Beliau terlebih dahulu menganggap bahwa Pendidikan yang dilakukan dengan keisyafan, ditujukan kearah keselamatan dan kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat laku "pembangunan", tetapi sering merupakan "perjuangan" pula. Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.

Ini berarti bahwa ujian memang perlu. Tapi yang paling utama adalah memberikan makna ujiian kepada siswa. Ujian adalah bentuk suatu perjuangan. Siswa memang perlu belajar lebih giat, karena itu nilai-nilai perjuangan menghadapi ujian perlu ditumbuhkembangkan. Ujian tak lagi membuat ketakukan bagi siswa. Ujian tak lagi menghebohkan bagi orang tua, guru dan sekolah. Namun selama ini banyak yang memaknai ujian bukan lagi bentuk perjuangan. Marilah para pihak yang terkait seperti siswa, guru dan sekolah mengahadpi ujian sebagai sesuatu yang harus diperjuangan untuk hasil lebih baik. Dengan semangat perjuangan, siswa mengerti pentingnya pendidikan. Selamat Ujian!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun