Dulu, istilah bapak rumah tangga sering menimbulkan senyum miring. Lelaki dianggap gagal bila lebih banyak di rumah, apalagi kalau istrinya tetap bekerja atau bisnisnya dijalankan dari garasi. Peran ayah direduksi menjadi mesin pencari nafkah, sementara rumah dan anak-anak dianggap wilayah ibu. Tapi dunia sudah berubah. Teknologi dan cara kerja modern membuat batas antara rumah dan kantor perlahan hilang. Produktivitas kini tidak lagi diukur dari lokasi, tapi dari hasil dan dampaknya.
Saya termasuk yang mengambil jalan berbeda sejak dua dekade lalu. Tahun 2005, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan formal dan membuka software house serta IT consulting di sebelah rumah. Keputusan itu bukan spontan. Saya ingin keluar dari ritme kerja yang menelan waktu, sementara anak-anak tumbuh tanpa cukup bimbingan. Saya tidak ingin menjadi sosok yang hanya hadir di foto-foto keluarga tapi absen dalam kehidupan mereka.
Titik Balik: Ketika Memutuskan Resign. Banyak yang heran waktu itu. Rekan kantor menganggap saya nekat. Keluarga besar sempat khawatir, terutama soal finansial. Tapi saya punya perhitungan sendiri. Dunia IT sedang tumbuh pesat. Internet mulai membuka peluang usaha baru, dan saya sudah memiliki pengalaman, jaringan, serta klien potensial.
Saya mulai dari nol. Kantor saya hanya ruang depan rumah yang diubah jadi tempat kerja. Di situ ada satu komputer utama, satu meja kayu, dan papan tulis kecil untuk merancang proyek. Tapi yang saya dapatkan bukan sekadar tempat kerja baru---melainkan kendali penuh atas waktu dan arah hidup saya sendiri. Setiap pagi saya bisa mengantar anak sekolah sebelum mulai menulis kode atau rapat daring dengan klien.
Rumah dan Kantor dalam Satu Atap. Peralihan dari ritme kantor ke ritme rumah bukan hal mudah. Awalnya sulit membedakan kapan saya sedang "kerja" dan kapan sedang "di rumah". Tapi seiring waktu, disiplin tumbuh alami. Saya membuat jadwal harian sederhana: pagi untuk proyek, siang untuk urusan anak, sore untuk debugging dan administrasi. Malam untuk membaca atau mengajar anak mengerjakan PR.
Menariknya, anak-anak sering duduk di dekat saya saat saya mengetik. Mereka melihat bagaimana saya fokus, gagal, lalu mencoba lagi. Tanpa saya sadari, mereka belajar cara berpikir sistematis dan menyelesaikan masalah---bukan dari teori, tapi dari contoh langsung.
Rumah yang dulunya tempat beristirahat berubah menjadi ekosistem produktif. Istri saya membantu dalam urusan administratif dan komunikasi. Kami berdua jadi rekan kerja sekaligus orang tua yang saling menopang. Semua berjalan cair dan alami.
Finansial dan Profesional: Tidak Mundur, Justru Maju. Banyak yang mengira bekerja dari rumah berarti penghasilan tak menentu. Faktanya, justru sebaliknya. Dengan biaya operasional rendah dan fleksibilitas tinggi, saya bisa mengatur proyek dengan lebih efisien. Klien datang dari rekomendasi dan hasil kerja yang bisa saya tangani langsung tanpa birokrasi panjang.
Pendapatan memang fluktuatif, tapi nilai tambahnya jauh lebih besar: kemandirian, fleksibilitas, dan kepuasan batin. Tidak ada lagi rapat yang menghabiskan waktu tanpa hasil, tidak ada lagi macet berjam-jam. Saya bisa makan siang bersama keluarga setiap hari dan tetap menutup proyek besar di malam hari.
Dari situ saya belajar, bahwa rezeki bukan hanya angka di rekening, tapi keseimbangan antara kerja, waktu, dan makna.
Anak-anak: Buah dari Kehadiran. Bagi saya, hasil paling membahagiakan dari keputusan itu bukan sekadar kesuksesan usaha, melainkan hasil yang terlihat di anak-anak. Dengan waktu yang lebih banyak bersama mereka, saya bisa memantau setiap fase pertumbuhan dan belajar mereka. Saya hadir saat mereka gagal, saya dorong saat mereka mulai ragu, dan saya biarkan mereka mencari jalannya sendiri.
Hari ini, ketiganya lulus dari perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia di Depok, dengan jurusan yang mentereng---bidang yang mereka pilih sendiri. Saya tidak pernah menuntut nilai tertinggi, hanya ingin mereka mencintai proses belajar. Tapi mungkin karena mereka setiap hari melihat ayahnya tekun bekerja dari rumah, mereka belajar bahwa kerja keras dan disiplin adalah bagian alami dari hidup. Saya tidak perlu banyak nasihat, karena contoh sehari-hari lebih kuat daripada kata-kata.
Refleksi: Makna "Bapak Rumah Tangga" yang Sebenarnya. Menjadi bapak rumah tangga bukan soal siapa yang mencuci piring atau memasak makan siang. Ini soal siapa yang hadir di rumah ketika anak-anak membutuhkan arah, dan siapa yang berani mengambil risiko untuk hidup lebih bermakna. Dunia berubah. Peran gender tak lagi kaku. Banyak ibu sukses di luar rumah, dan banyak ayah memilih mengelola rumah tangga tanpa kehilangan harga diri.
Bagi saya, keputusan 2005 itu bukan langkah mundur, tapi pergeseran strategi hidup. Saya berhenti bekerja untuk orang lain agar bisa bekerja untuk masa depan keluarga sendiri. Saya tidak menjadi "kurang laki-laki". Justru di situlah saya menemukan arti sebenarnya menjadi ayah: bukan hanya memberi nafkah, tapi memberi arah.
Penutup: Rumah sebagai Pusat Dunia. Dua puluh tahun berlalu. Software house itu masih berjalan, dengan bentuk yang jauh lebih matang. Tapi yang paling saya syukuri bukan pertumbuhan bisnisnya, melainkan kesempatan melihat anak-anak tumbuh dalam jangkauan pandangan saya sendiri.
Rumah menjadi pusat segalanya: tempat bekerja, belajar, bercanda, dan berdoa. Di sanalah saya menemukan keseimbangan hidup yang dulu tidak pernah saya temui di gedung perkantoran.
Menjadi bapak rumah tangga bukan kisah pengorbanan, tapi kisah tentang keberanian pulang---ke rumah, ke keluarga, dan ke versi terbaik dari diri sendiri. Karena kadang, dunia yang paling luas justru terbentang di balik pagar rumah kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI