Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Teh dari Pagar: Keaslian yang Tak Bisa Dikemas

15 Oktober 2025   17:17 Diperbarui: 15 Oktober 2025   17:17 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pucuk teh, bahan teh putih - koleksi pribadi

Di banyak kampung di dataran tinggi Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, ada satu kebiasaan lama yang hampir hilang: menanam teh di pagar. Bukan kebun teh luas yang rapi dengan barisan tanaman seperti tentara hijau, tapi pagar-pagar hidup di sekitar pekarangan, pematang, atau tepi kebun sayur. Dari situlah muncul istilah yang kini nyaris tak terdengar: teh pagar.

Teh pagar tumbuh tanpa rencana, tanpa pupuk, tanpa pestisida. Kadang tumbuh dari batang cangkokan yang dulu dibawa kakek dari kebun teh besar, lalu dibiarkan hidup begitu saja sebagai pagar alami. Tidak pernah disemprot, tidak dipangkas teratur, bahkan sering bercampur dengan tanaman liar lain. Namun dari daun-daun liar itulah muncul aroma dan rasa teh yang jauh lebih lembut daripada teh merek mana pun di pasaran.

Pekko: Daun Tunggal yang Tak Tergantikan

Rahasia teh pagar ada pada peko --- pucuk daun tunggal yang baru tumbuh dan belum mekar. Daun ini berwarna hijau muda keperakan, lembut seperti beludru. Di kebun industri, pucuk seperti ini biasanya ikut terpetik bersama daun lain untuk memenuhi target berat harian. Tapi di pagar, daun itu tumbuh perlahan, tanpa tekanan produksi. Ia menyerap udara pegunungan yang bersih, sinar matahari pagi, dan kelembapan tanah yang masih perawan.

Ketika daun peko ini dikeringkan secara sederhana --- dijemur atau disangrai ringan --- muncul aroma bunga liar yang halus, dengan rasa sedikit manis tanpa getir. Inilah yang disebut banyak orang tua dulu sebagai "teh putih alami". Bukan karena dibuat di pabrik teh putih, tapi karena benar-benar berasal dari daun termuda yang belum teroksidasi sempurna.

Jika diseduh air hangat, warnanya bukan cokelat pekat seperti teh hitam, melainkan keemasan bening. Rasanya ringan tapi dalam. Tidak menendang di lidah, tapi meninggalkan kesan bersih yang sulit dijelaskan. Orang kampung dulu bilang: teh pagar tidak bikin jantung berdebar, tapi bikin pikiran terang.

Merek Tak Bisa Menandingi Kejujuran Alam

Hari ini, pasar kita dipenuhi teh merek lokal. Ada yang mengaku teh premium, ada yang memakai nama gunung, ada yang diklaim hasil perkebunan organik. Namun kalau dicermati, tidak ada satu pun yang benar-benar menonjolkan cita rasa alami seperti teh pagar.

Sebagian besar teh yang dijual di pasaran sudah melalui proses panjang: fermentasi, pencampuran, dan penyeduhan ulang. Banyak yang kehilangan karakter asalnya. Daun teh dari berbagai daerah dicampur agar rasanya "konsisten", padahal yang hilang justru keunikannya.

Teh pagar tidak mengenal konsistensi. Rasanya selalu berbeda, tergantung cuaca, tanah, dan usia daun. Tapi justru di situlah kejujurannya. Ia tidak dibuat untuk pasar, hanya untuk dinikmati. Tak ada standar rasa, hanya kenangan akan kesegaran pagi di kampung.

Banyak petani tua menganggap teh pagar sebagai "teh yang hidup di luar sistem." Tidak dijual, tidak dicatat, tapi tetap diminum setiap hari. Mungkin karena itu pula, teh pagar nyaris punah. Di banyak desa, pagar teh sudah diganti tembok semen. Sementara teh kemasan semakin ramai dipajang di rak minimarket.

Rasa yang Tak Bisa Disalin

Seorang teman pernah mencoba mereplikasi teh pagar di laboratorium kecilnya. Ia mengambil daun pucuk dari kebun teh komersial, mengeringkannya tanpa fermentasi, lalu menyeduh dengan air bersuhu 80 derajat. Hasilnya? Mendekati, tapi tidak sama.

Teh pagar memiliki satu keunggulan yang tidak bisa diproduksi: waktu. Daun teh yang tumbuh di pagar kampung tidak pernah dipaksa tumbuh cepat. Tidak ada pemangkasan rutin yang menstimulasi daun muda. Tidak ada pemupukan nitrogen yang membuat daun besar tapi hambar. Ia tumbuh sesuai ritme alam. Perlahan, stabil, dan sabar.

Mungkin inilah yang membuat teh pagar lebih kaya rasa. Ia seperti menyerap waktu ke dalam dirinya. Setiap tegukan menghadirkan kesan lembut, seperti mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa menikmati hidup.

Tradisi yang Perlu Dihidupkan Kembali

Di era serba instan, mungkin sulit mengharapkan orang menanam teh di pagar rumah. Tapi bukan berarti tradisi ini tidak bisa dihidupkan. Justru di tengah tren "kembali ke alam" dan kesadaran akan pangan sehat, teh pagar bisa menjadi simbol sederhana tentang keberlanjutan.

Bayangkan jika setiap rumah di dataran tinggi memiliki beberapa batang teh di pagar. Tak perlu banyak --- cukup untuk diseduh keluarga sendiri. Tidak hanya menghasilkan minuman alami, tapi juga menjaga kesadaran ekologis. Pagar hidup lebih ramah lingkungan daripada tembok beton, dan daun teh bisa jadi tanda bahwa pagar itu bukan pemisah, melainkan penghubung antara manusia dan alam.

Bahkan secara ekonomi, teh pagar bisa dikembangkan menjadi produk komunitas. Bukan teh massal, tapi teh khas desa, dijual terbatas dengan cara sederhana. Mirip dengan kopi single origin, teh pagar bisa memperkenalkan "rasa kampung" yang otentik ke pasar luas. Namun tentu saja, esensinya harus dijaga: tidak boleh dibuat massal atau kehilangan keaslian alamnya.

Kembali ke Sumber Rasa

Kita hidup di zaman di mana teh dinilai dari kemasan, bukan dari daun. Padahal teh sejatinya adalah daun yang bicara tentang tempatnya tumbuh. Daun dari pagar kampung punya kisah panjang: tentang tanah yang subur, kabut pagi yang lembut, dan tangan-tangan yang memetik tanpa ambisi bisnis.

Teh pagar mengajarkan kita tentang kesederhanaan rasa. Bahwa yang murni tidak perlu bungkusan cantik. Bahwa yang terbaik sering kali tumbuh di luar kebun besar, di luar rencana, di luar pasar.

Setiap tegukan teh pagar adalah tegukan memori: aroma tanah basah setelah hujan, suara ayam di pagi buta, dan percakapan tanpa tergesa. Semua hadir tanpa merek, tanpa iklan, tanpa strategi pemasaran.

Akhirnya, Teh yang Membumi

Mungkin memang sudah waktunya kita berhenti mencari teh terbaik di rak toko. Karena teh terbaik tidak dijual. Ia tumbuh diam-diam di pagar rumah-rumah kampung, menunggu seseorang datang, memetik satu daun muda, lalu menyeduhnya perlahan.

Dari sana kita belajar bahwa cita rasa tidak lahir dari pabrik, melainkan dari hubungan manusia dengan tanahnya sendiri. Teh pagar adalah warisan kecil yang mengingatkan kita pada kearifan lokal: bahwa yang sederhana bisa begitu mendalam, dan yang tak dikemas justru paling berharga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun