Banyak petani tua menganggap teh pagar sebagai "teh yang hidup di luar sistem." Tidak dijual, tidak dicatat, tapi tetap diminum setiap hari. Mungkin karena itu pula, teh pagar nyaris punah. Di banyak desa, pagar teh sudah diganti tembok semen. Sementara teh kemasan semakin ramai dipajang di rak minimarket.
Rasa yang Tak Bisa Disalin
Seorang teman pernah mencoba mereplikasi teh pagar di laboratorium kecilnya. Ia mengambil daun pucuk dari kebun teh komersial, mengeringkannya tanpa fermentasi, lalu menyeduh dengan air bersuhu 80 derajat. Hasilnya? Mendekati, tapi tidak sama.
Teh pagar memiliki satu keunggulan yang tidak bisa diproduksi: waktu. Daun teh yang tumbuh di pagar kampung tidak pernah dipaksa tumbuh cepat. Tidak ada pemangkasan rutin yang menstimulasi daun muda. Tidak ada pemupukan nitrogen yang membuat daun besar tapi hambar. Ia tumbuh sesuai ritme alam. Perlahan, stabil, dan sabar.
Mungkin inilah yang membuat teh pagar lebih kaya rasa. Ia seperti menyerap waktu ke dalam dirinya. Setiap tegukan menghadirkan kesan lembut, seperti mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa menikmati hidup.
Tradisi yang Perlu Dihidupkan Kembali
Di era serba instan, mungkin sulit mengharapkan orang menanam teh di pagar rumah. Tapi bukan berarti tradisi ini tidak bisa dihidupkan. Justru di tengah tren "kembali ke alam" dan kesadaran akan pangan sehat, teh pagar bisa menjadi simbol sederhana tentang keberlanjutan.
Bayangkan jika setiap rumah di dataran tinggi memiliki beberapa batang teh di pagar. Tak perlu banyak --- cukup untuk diseduh keluarga sendiri. Tidak hanya menghasilkan minuman alami, tapi juga menjaga kesadaran ekologis. Pagar hidup lebih ramah lingkungan daripada tembok beton, dan daun teh bisa jadi tanda bahwa pagar itu bukan pemisah, melainkan penghubung antara manusia dan alam.
Bahkan secara ekonomi, teh pagar bisa dikembangkan menjadi produk komunitas. Bukan teh massal, tapi teh khas desa, dijual terbatas dengan cara sederhana. Mirip dengan kopi single origin, teh pagar bisa memperkenalkan "rasa kampung" yang otentik ke pasar luas. Namun tentu saja, esensinya harus dijaga: tidak boleh dibuat massal atau kehilangan keaslian alamnya.
Kembali ke Sumber Rasa
Kita hidup di zaman di mana teh dinilai dari kemasan, bukan dari daun. Padahal teh sejatinya adalah daun yang bicara tentang tempatnya tumbuh. Daun dari pagar kampung punya kisah panjang: tentang tanah yang subur, kabut pagi yang lembut, dan tangan-tangan yang memetik tanpa ambisi bisnis.