Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Legislasi di Indonesia: Antara Aspirasi Publik dan Kepentingan Politik

27 Agustus 2025   04:30 Diperbarui: 26 Agustus 2025   23:08 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan
Legislasi adalah salah satu pilar utama dalam kehidupan bernegara. Undang-undang tidak hanya menjadi rujukan hukum, tetapi juga cermin nilai, visi, serta arah pembangunan sebuah bangsa. Di Indonesia, legislasi merupakan hasil kerja bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) berperan sebagai pengawal konstitusionalitasnya. Namun, praktik legislasi seringkali dipandang problematis. Kritik yang kerap muncul adalah bahwa produk hukum lebih sering mewakili kepentingan elite politik ketimbang kepentingan masyarakat luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: legislasi di Indonesia, sejauh mana masih berpihak kepada rakyat?

Sistem Legislasi: Ideal vs Realitas
Secara ideal, pembentukan undang-undang di Indonesia diatur oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (yang telah beberapa kali direvisi). Proses legislasi seharusnya melewati tahapan perencanaan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas), penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki peran sentral, sementara Presiden berperan sebagai mitra sejajar.

Namun, dalam realitas politik, idealisme tersebut sering berbenturan dengan kepentingan pragmatis. Keanggotaan DPR yang seluruhnya berasal dari partai politik menjadikan proses legislasi sarat dengan kalkulasi elektoral, kepentingan partai, hingga tekanan kelompok kepentingan (interest group). Alhasil, undang-undang yang lahir kerap menimbulkan kontroversi karena dipersepsikan lebih menguntungkan elite dibanding rakyat.

Undang-Undang sebagai Arena Kepentingan Politik
Beberapa produk hukum belakangan ini memperlihatkan kecenderungan tersebut. Misalnya, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dianggap melemahkan independensi lembaga antirasuah. Proses pembahasan UU tersebut berlangsung cepat, minim partisipasi publik, dan pada akhirnya memunculkan kekecewaan luas.

Contoh lain adalah Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Di satu sisi, undang-undang ini diklaim untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun di sisi lain, banyak pasal dianggap merugikan pekerja, memperlonggar aturan lingkungan, dan mengikis hak-hak buruh. Kritik muncul karena proses pembentukan undang-undang dinilai terburu-buru, tidak transparan, dan kurang melibatkan publik.

Fenomena serupa juga terlihat pada rancangan undang-undang lain, seperti RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal-pasal kontroversial yang menyangkut kebebasan sipil tetap dipertahankan meskipun menuai penolakan masyarakat sipil. Ini mengindikasikan bahwa DPR lebih berorientasi pada konsolidasi kekuasaan daripada perlindungan hak-hak warga negara.

Partai Politik sebagai Faktor Dominan
Keberadaan partai politik menjadi faktor dominan dalam proses legislasi. Sebagai kendaraan politik, partai memiliki kepentingan mempertahankan eksistensi, kekuasaan, dan akses terhadap sumber daya. Karena itu, kebijakan legislasi seringkali diarahkan untuk memperkuat posisi partai, baik dalam sistem politik maupun dalam relasi dengan konstituen.

Kedekatan antara DPR dan eksekutif juga menambah kompleksitas. Koalisi besar yang mendominasi parlemen cenderung memuluskan agenda legislatif pemerintah, bahkan ketika agenda tersebut ditolak sebagian besar masyarakat. Kondisi ini menyebabkan prinsip checks and balances melemah, karena DPR tidak lagi berperan sebagai pengawas kritis, melainkan mitra kooperatif eksekutif.

Partisipasi Publik: Formalitas Belaka?
Secara normatif, partisipasi publik merupakan elemen penting dalam pembentukan undang-undang. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 bahkan menegaskan hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis. Akan tetapi, praktik di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi publik sering hanya dijadikan formalitas.

Rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau uji publik sering dilaksanakan, namun masukan dari masyarakat sipil, akademisi, maupun kelompok terdampak jarang benar-benar diakomodasi. Dalam banyak kasus, naskah RUU tidak mudah diakses publik, sehingga transparansi proses legislasi dipertanyakan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap DPR dan proses legislasi menurun drastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun