Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Di Ambang Posthumanisme: Manusia, Teknologi, dan Arti Keberadaan

25 Agustus 2025   04:30 Diperbarui: 24 Agustus 2025   19:40 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat pagi sahabat sunyi,
Hari ini aku ingin mengajakmu berjalan ke tepi batas antara manusia dan teknologi. Di sana, kita akan bertanya: masihkah kita tetap manusia ketika mesin, algoritma, dan rekayasa genetika mulai membentuk siapa diri kita?

Dalam era kemajuan teknologi yang pesat, konsep tentang manusia dan identitasnya mengalami perubahan yang fundamental. Salah satu aliran filsafat yang menjadi perbincangan hangat dalam konteks ini adalah *posthumanisme*. Sebagai sebuah pendekatan yang menantang batas-batas tradisional mengenai apa arti manusia, posthumanisme mengajak kita untuk merenungkan masa depan manusia dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh inovasi teknologi, kecerdasan buatan, dan rekayasa genetika. Artikel ini akan membahas secara reflektif tentang posthumanisme dan implikasinya terhadap keberadaan manusia di masa depan.

Secara umum, posthumanisme merupakan sebuah gerakan filsafat dan budaya yang menolak pandangan tradisional tentang keunggulan manusia sebagai makhluk paling istimewa di alam semesta. Gerakan ini menegaskan bahwa manusia bukan lagi pusat dari segala sesuatu, melainkan bagian dari jaringan yang lebih besar yang melibatkan teknologi, mesin, dan entitas lain yang mampu mengubah identitas dan keberadaan manusia itu sendiri. Posthumanisme mengkritik humanisme klasik yang cenderung memandang manusia sebagai makhluk yang unggul dan terpisah dari alam serta teknologi.

Dalam konteks ini, posthumanisme tidak melupakan pentingnya manusia, tetapi mengajak kita untuk melihat manusia sebagai entitas yang terus berkembang dan berinteraksi secara kompleks dengan teknologi. Seperti yang dikemukakan oleh filosof Cary Wolfe, posthumanisme berupaya mengurai batas-batas antara manusia dan non-manusia, mengakui bahwa identitas manusia tidak lagi statis melainkan dinamis dan terbuka terhadap transformasi.

Salah satu aspek utama dari posthumanisme adalah peran teknologi dalam membentuk masa depan manusia. Dengan kemajuan di bidang kecerdasan buatan (AI), rekayasa genetika, dan augmentasi manusia, batas-batas fisik dan mental manusia mulai tergeser. Contohnya, manusia kini dapat meng-upgrade tubuhnya melalui prostetik canggih, atau bahkan memanfaatkan teknologi cyber untuk memperluas kapasitas kognitif dan fisiknya.

Pertanyaan yang muncul adalah: apakah manusia yang semakin tergantung pada teknologi ini masih bisa disebut manusia dalam pengertian tradisional? Apakah kita akan menjadi makhluk yang sepenuhnya berbeda di masa depan, yang tak lagi dibatasi oleh sifat biologis dan emosional manusia? Dalam hal ini, posthumanisme mengajak kita untuk mempertanyakan esensi manusia itu sendiri. Apakah identitas manusia tetap utuh ketika kita mampu memanipulasi gen, memperpanjang umur, atau bahkan mengintegrasikan diri dengan mesin?

Posthumanisme menegaskan bahwa manusia harus terbuka terhadap kemungkinan transformasi tersebut. Sebab, perubahan ini tidak hanya tentang peningkatan kapasitas fisik dan mental, tetapi juga tentang memperluas pemahaman kita terhadap keberadaan dan identitas. Dalam konteks ini, batas-batas antara manusia dan mesin menjadi semakin kabur. Teknologi tidak lagi sekadar alat, melainkan bagian dari diri kita yang tidak terpisahkan.

Namun, di balik potensi besar ini, terdapat pula kekhawatiran etis dan filosofis. Apakah transformasi ini akan menimbulkan ketidaksetaraan baru? Bagaimana kita memastikan bahwa teknologi tidak digunakan untuk kepentingan sekelompok orang saja, yang akhirnya memperdalam jurang sosial dan ekonomi? Selain itu, ada kekhawatiran tentang kehilangan aspek kemanusiaan, seperti empati dan moralitas, ketika manusia menjadi entitas yang sangat tergantung pada mesin dan algoritma.

Refleksi penting dari posthumanisme adalah perlunya memperhatikan aspek etis dalam pengembangan teknologi. Tidak cukup hanya mengejar kemajuan, tetapi kita juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap identitas, hak asasi, dan keberlanjutan manusia dan makhluk lain di planet ini.

Sebagai contoh, rekayasa genetika menawarkan kemungkinan untuk menghapus penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. Tetapi, jika tidak diatur dengan baik, hal ini berpotensi menciptakan manusia yang “disempurnakan” dan manusia yang tertinggal, memperdalam ketidaksetaraan. Begitu pula dengan AI dan robotik, yang berpotensi menggantikan pekerjaan manusia dan mengurangi peran manusia sebagai makhluk yang berkreasi dan berempati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun