Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjalin Kembali Benang Kehidupan: Refleksi Filosofis tentang Alam dan Lingkungan

24 Agustus 2025   04:30 Diperbarui: 23 Agustus 2025   11:37 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita dan alam - GeminiAI

Selamat pagi sahabat sunyi,
Hari ini aku ingin mengajakmu sejenak berhenti dari hiruk-pikuk dunia, untuk menundukkan kepala pada bumi yang kita pijak dan langit yang kita pandang. Dalam bisikan angin dan gemericik air, ada pelajaran yang disampaikan alam---sebuah undangan untuk merenungkan kembali hubungan kita dengannya.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, kita sering kali melupakan akar kita. Kita terperangkap dalam beton dan besi, terisolasi dari dunia alami yang sejatinya adalah rumah kita. Hubungan kita dengan alam telah bergeser dari simbiosis harmonis menjadi dominasi yang eksploitatif. Namun, di balik krisis ekologi yang kian mendesak, tersembunyi sebuah panggilan---sebuah ajakan untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan alam melalui lensa filsafat.

Filsafat alam, sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua, mengajarkan kita untuk mengamati, merenungkan, dan memahami dunia di sekitar kita. Sejak para filsuf Yunani kuno seperti Thales, yang melihat air sebagai prinsip dasar segala sesuatu, hingga Aristoteles dengan konsep hylomorphism-nya (materi dan bentuk), manusia selalu mencari jawaban atas pertanyaan fundamental: apa itu alam?

Dari Kosmos ke Mesin: Paradigma yang Berubah

Pada masa lampau, alam dipandang sebagai kosmos, sebuah tatanan yang teratur dan bermakna. Masyarakat tradisional, yang hidup dekat dengan alam, menghormatinya sebagai entitas yang sakral, penuh dengan kekuatan dan misteri. Alam adalah sumber kehidupan, guru, dan cermin bagi jiwa manusia. Keyakinan ini tercermin dalam berbagai mitologi dan ritual, di mana dewa-dewi alam disembah dan siklus alamiah (seperti musim dan pasang surut) dihormati.

Namun, datangnya Revolusi Ilmiah pada abad ke-17 mengubah segalanya. Dengan tokoh-tokoh seperti Francis Bacon dan Ren Descartes, paradigma baru muncul. Alam tidak lagi dipandang sebagai kosmos yang hidup, melainkan sebagai mesin raksasa (corpus mechanicus) yang bisa dipecah, dianalisis, dan dikendalikan. Descartes memisahkan secara radikal antara subjek (manusia yang berpikir) dan objek (alam yang pasif).  Manusia menjadi pengamat yang terpisah, bukan bagian dari alam itu sendiri.

Paradigma mekanistik ini, meski telah melahirkan kemajuan teknologi yang luar biasa, juga membawa konsekuensi yang merusak. Alam dianggap sebagai sumber daya yang tak terbatas, siap dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Hutan dibabat, sungai dicemari, dan spesies punah---semua atas nama kemajuan dan efisiensi. Filsuf Jerman Martin Heidegger menyebut fenomena ini sebagai "Gestell," sebuah kerangka berpikir yang mereduksi alam menjadi semata-mata cadangan energi yang siap pakai.

Bangkitnya Kesadaran Ekologis: Filsafat Lingkungan

Menyusul kerusakan lingkungan yang semakin parah, lahirlah filsafat lingkungan pada paruh kedua abad ke-20. Cabang filsafat ini menantang paradigma dominasi dan mengajak kita untuk membangun kembali etika baru yang berpusat pada alam. Ada beberapa aliran pemikiran utama dalam filsafat lingkungan:

  1. Antroposentrisme: Aliran ini berpendapat bahwa manusia adalah pusat moral, dan alam memiliki nilai hanya sejauh ia bermanfaat bagi manusia. Namun, antroposentrisme yang bijaksana mengakui bahwa menjaga lingkungan adalah demi kepentingan manusia jangka panjang.

  2. Biosentrisme: Berbeda dengan antroposentrisme, biosentrisme memperluas cakupan moral kepada semua makhluk hidup. Aliran ini berpendapat bahwa setiap organisme---dari bakteri hingga gajah---memiliki nilai intrinsik dan hak untuk hidup. Tokoh seperti Paul W. Taylor dengan konsep "biocentric egalitarianism"-nya menekankan bahwa semua makhluk hidup memiliki kedudukan moral yang sama.

  3. Ekosentrisme: Ini adalah pandangan yang paling radikal, yang menempatkan ekosistem atau biosfer sebagai entitas utama yang memiliki nilai moral. Tokoh seperti Aldo Leopold dengan konsep "land ethic"-nya mengatakan bahwa suatu tindakan adalah benar jika cenderung melestarikan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik, dan salah jika sebaliknya. Dalam pandangan ini, kita bukanlah penakluk tanah, melainkan anggota biasa dari komunitas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun