Tragedi kebakaran sumur minyak rakyat di Blora kembali membuka luka lama yang seolah tidak pernah sembuh. Setiap kali bencana serupa terjadi, selalu rakyat kecil yang menjadi korban. Nyawa melayang, luka bakar parah menorehkan derita berkepanjangan, anak-anak kehilangan orang tua, dan keluarga jatuh dalam kesengsaraan. Di tengah semua itu, negara hadir sebatas mengucapkan belasungkawa, memberi santunan seadanya, dan kemudian melanjutkan kehidupan seolah semuanya wajar.
Pertanyaan reflektif yang muncul adalah: mengapa hal semacam ini terus berulang? Bukankah pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah lama mengetahui adanya praktik pengeboran minyak rakyat? Bukankah aparat desa, pejabat daerah, bahkan perusahaan resmi sekalipun, sudah lama mendengar, melihat, dan sebagian bahkan ikut menikmati "jatah" dari aktivitas itu? Lalu mengapa ketika bencana meledak, tudingan hanya diarahkan kepada rakyat kecil yang dianggap bodoh, nekat, dan melanggar hukum?
Narasi resmi selalu menempatkan rakyat sebagai biang masalah. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalannya justru ada pada ketidakadilan struktural: negara abai membina, membiarkan eksploitasi tanpa standar keselamatan, namun dengan cepat menyalahkan rakyat ketika terjadi tragedi.
Rakyat Kecil, Perut Lapar, dan Sumur Minyak
Bagi masyarakat desa di sekitar Blora, Bojonegoro, hingga Aceh, minyak bukan sekadar sumber energi, melainkan sumber harapan. Lapangan pekerjaan terbatas, sawah semakin sempit, harga hasil tani tidak menentu. Dalam kondisi itulah, pengeboran minyak rakyat menjadi pilihan bertahan hidup.
Orang sering mencibir: "Kenapa nekat main api, tahu risikonya tinggi?" Tetapi kalimat semacam ini sering lahir dari mulut yang tidak pernah merasakan lapar. Bagi rakyat kecil, risiko besar pun layak dijalani jika imbalannya adalah sesuap nasi untuk anak-anak mereka.
Tragedi Blora adalah cerminan nyata dari paradoks itu. Seorang ibu muda, Yeti, berjuang mencari nafkah di sekitar sumur minyak, lalu menjadi korban bersama tiga orang lainnya. Ironisnya, anak balitanya kini harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit karena ikut terbakar. Bayangkan luka psikologis yang akan membekas seumur hidup.
Apakah mereka ingin mati sia-sia? Tentu tidak. Mereka hanya berusaha hidup. Namun dalam sistem yang timpang, usaha rakyat kecil sering berujung pada derita.
Pemdes dan "Jatah Aman-Aman"
Fakta di lapangan sering kali menunjukkan bahwa aktivitas tambang rakyat bukanlah rahasia. Aparat desa tahu, perangkat kecamatan tahu, bahkan di beberapa kasus, ada pungutan khusus yang secara rutin disetor. Istilahnya: "selama aman-aman, semua dapat jatah."
Praktik semacam ini jelas merugikan rakyat. Di satu sisi, mereka tidak diberi akses legal untuk mengelola sumur secara aman dan sah. Di sisi lain, mereka diperas dalam sistem informal yang tidak memberi perlindungan apa-apa. Ketika tragedi meletus, aparat yang selama ini menikmati "jatah" dengan cepat menarik diri, seolah tidak tahu-menahu, lalu narasi resmi menyebut: "sumur ilegal, rakyat yang salah."