Di tengah hutan yang seakan menelan cahaya, seorang pria melangkah sendirian, hanya ditemani sorot lampu di kepalanya. Daun-daun basah merunduk, seolah ingin menutup jalan setapak yang mengarah ke kegelapan pekat di depan. Suara serangga bercampur desir angin terdengar seperti bisikan halus yang memanggil dari balik rimbun. Setiap langkah terasa semakin menjauh dari dunia manusia… dan semakin dekat pada sesuatu yang menunggu dalam diam. Ia sedang menyusi Alas Kucur di mana Sendang Kucur berada
Bagi warga Klaten, Alas Kucur bukan sekadar hutan—ia adalah rahim gelap yang menyimpan rahasia kematian, bisik dedemit, dan aroma dupa yang tak pernah padam. Hutan ini berdiri di wilayah Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan wingitnya tak kalah menyeramkan dari Alas Ketonggo di Jawa Timur, tempat para lelembut Timur berkumpul.
Bentuknya berupa perbukitan yang dipeluk kabut. Di jantungnya tersembunyi sebuah sendang—mata air yang oleh warga dinamai Sendang Kucur. Menurut para sepuh, di situlah pusat kekuatan gaib Alas Kucur. Sendang ini bukan terbentuk secara alami, melainkan lahir dari peristiwa gaib di masa para wali.
Ratusan tahun silam, Ki Ageng Pandanaran dan istrinya, Nyai Kali Wungu, mengembara melewati hutan lebat yang sunyi. Kala sang istri kehausan, tak setetes pun air dapat ditemukan. Dengan kuku sakti yang tajam, Ki Ageng menggores tanah. Dari goresan itu, air memancar deras, membentuk genangan jernih—tempat Nyai Kali Wungu menghilangkan dahaga.
Sejak saat itu, warga menamainya Kucur—dari “Ku” (kuku) dan “Cur” (mancur). Namun di balik keindahan airnya, Ki Ageng berpesan: Kelak, sendang ini akan menjadi tempat berkumpulnya makhluk gaib Tanah Jawa. Mereka hanya dapat diambil oleh manusia ketika bumi telah penuh oleh manusia.
Sepasang Tuyul yang Selalu Bersama
Mbah Jo, sesepuh kampung, berkisah bahwa dari sekian banyak penghuni gaib Sendang Kucur, tuyul adalah yang paling sering dicari. Tuyul di sini selalu datang berpasangan—laki-laki berambut kuncung, perempuan berambut panjang—dan tak pernah mau dipisahkan. Barang siapa ingin memeliharanya, harus siap menjemput keduanya sekaligus.
Proses memanggil mereka sederhana di mulut, namun berat di nyali. Peritual harus berjalan menembus hutan di malam hari, hingga mencapai sendang. Di sana, dupa harus dibakar, asapnya menari di udara dingin, sambil mantra pelan diucap.
Kadang tuyul penurut datang dalam hitungan jam, kadang mereka bandel dan membuat peritual menunggu hingga lima jam di bawah kegelapan pekat. Syaratnya: bawa dua kendi tanah liat. Jika tuyul setuju untuk diadopsi, mereka akan menampakkan diri—kulit pucat licin, mata hitam besar—lalu masuk ke dalam kendi.
Begitu masuk, kendi harus ditutup rapat. Peritual wajib pulang langsung ke rumah, tanpa mampir. Sekali aturan ini dilanggar, tuyul akan lenyap, kembali ke sendang, dan tak pernah mau datang lagi.