Judul ini mungkin mengingatkan kita semua pada lagu legendaris Gombloh—lagu tentang perpisahan dan keikhlasan dalam cinta. Tapi kisah yang kutulis di sini bukan tentang cinta yang ditinggalkan, melainkan cinta yang dipertaruhkan.Â
Bukan karena ingin melepaskan, tapi karena ingin bertahan.
Karena dalam hidup nyata, kadang cinta harus digadaikan… untuk bisa tetap hidup.
Berbicara tentang pegadaian, yang terlintas di benak banyak orang sering kali adalah situasi darurat—momen ketika kondisi mendesak memaksa kita untuk menjaminkan barang-barang berharga, seperti emas, demi memenuhi kebutuhan yang tak bisa ditunda. Namun, di balik citra kedaruratan itu, pegadaian juga menyimpan peran penting sebagai solusi keuangan yang cepat, legal, dan terjangkau bagi masyarakat dari berbagai lapisan. Ia bukan semata tempat menitipkan barang saat terjepit, tapi juga bisa menjadi jembatan menuju stabilitas dan bahkan peluang ekonomi.
Tak pernah terpikir olehku, bahwa suatu hari aku akan menggadaikan cincin pernikahanku sendiri.
Cincin itu bukan sekadar perhiasan. Ia adalah simbol. Tanda ikatan suci, janji yang kuucap di hadapan saksi dan langit. Tapi kehidupan tak selalu memberi ruang bagi simbol; kadang yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memilih kenyataan.
Hari itu, kami memutuskan hijrah ke Jakarta. Tanpa bekal besar, hanya ada tekad dan cinta yang kami genggam erat. Tapi cinta saja tidak cukup untuk membayar ongkos sewa kamar pertama kami, atau sekadar makan di hari-hari awal. Maka dengan berat hati, kuajak istriku ke tempat itu—pegadaian.
Langkah kami pelan, tapi pasti. Tanganku menggenggam cincin itu, terasa berat seolah kenangan ikut menempel di logamnya. Istriku hanya diam, tapi di matanya kutangkap pengertian yang dalam. Tak ada protes. Hanya kepercayaan.
Aku menyerahkannya pada petugas, dan saat itu juga, sesuatu dalam diriku terasa luruh. Tapi justru di situlah aku merasa benar-benar menjadi suami: ketika harus memilih untuk melepaskan simbol demi mempertahankan esensi.
Cincin itu memang sempat hilang dari jari kami, tapi tidak dari hati. Dan dari sana, pelan-pelan, kami mulai membangun segalanya. Dari nol. Dari kamar kontrakan sempit, dari pekerjaan serabutan, dari mimpi yang terus kami rawat bersama. Jakarta bukan kota yang mudah, tapi ia menjadi saksi perjalanan cinta yang tidak menyerah.
Dengan modal uang gadai itu, aku gunakan untuk memepersiapkan keluarga baruku/ Aku tak datang ke Jakarta sebagai pelarian. Aku datang sebagai pejuang.