"Kalau software open source yang jauh lebih rumit dari musik lagu bisa bebas dibagikan tanpa minta duit terus-menerus, kenapa musik harus sebaliknya? Jujur saya capek dengar kata royalti. Bayangkan saja, kakek moyangya menciptakan lagu "Happy Birthday, sampai sekarang entah cicit down level ke berapa masih menikmati royalti. Menurut saya itu konyol!!!!"
Selama 30 tahun saya berkarya di dunia open source, saya telah mencurahkan jutaan jam untuk menciptakan software yang bisa dipakai siapa saja---gratis. Bahkan penguna bisa mengkritisi dan meminta atau menambah fitur software. Filosofinya sederhana: berbagi itu memperluas dampak, bukan mengecilkan nilai. Hari ini, saya melihat potensi besar untuk membawa semangat itu ke dunia musik, khususnya melalui musik AI.
Royalti Musik: Pajak Abadi untuk Karya yang Sudah Jadi?
Model royalti dalam musik konvensional membuat bisnis---seperti kafe, barbershop, coworking space---harus membayar terus-menerus hanya karena memutar lagu. Lagu itu mungkin sudah dibuat 10 tahun lalu, tapi tagihannya tetap datang. Ini seperti pajak abadi atas kenangan.
Padahal, lagu yang diputar di ruang publik itu sejatinya adalah promosi gratis bagi musisi. Saat seseorang mendengar lagu enak di kafe, dia akan:
Shazam atau cari tahu judul lagunya,
Follow di Spotify atau Instagram,
Mungkin beli tiket konser atau beli merch.
Jadi, kenapa harus dibebani royalti pasif, ketika justru itu adalah exposure aktif?
Open Source: Filosofi Berbagi Tanpa Batas