Kami delapan bersaudara, terpisah-pisah oleh kota dan waktu, tapi masih satu dalam rasa pada tanah asal dan orang tua di kampung. Suatu hari, kami sepakat memberikan sesuatu yang kami kira akan membahagiakan bapak: empat ekor kambing. Bapak memang suka ternak sejak dulu, dan kami pikir, itu akan jadi hiburan sekaligus pengisi hari tuanya.
Empat ekor kambing itu kami kirim ke kampung, disambut dengan senyum tipis bapak yang jarang sekali muncul. Beliau pelihara sendiri, dengan sabar dan telaten. Setiap kali kami pulang, selalu ada cerita tentang kambing-kambing itu. Bagaimana mereka berkembang biak, bagaimana yang ini galak, yang itu jinak, yang sana lahirannya susah, dan sebagainya. Bapak jadi punya kesibukan, dan kami merasa telah memberi sesuatu yang berarti.
Dua tahun berlalu, jumlah kambing itu membengkak menjadi delapan belas ekor. Sebuah kebanggaan, tentu saja, sekaligus tanda keberhasilan. Tapi di balik itu, perlahan kami mulai sadar: tangan bapak yang mulai gemetar itu terlalu tua untuk terus mencari rumput saban pagi. Punggungnya bungkuk bukan karena usia semata, tapi karena beban-beban kecil yang ia pikul setiap hari: karung rumput, ember air, pagar kandang yang harus diperbaiki, suara mengembik yang tak henti minta perhatian.
Sampai akhirnya bapak jatuh sakit.
Bukan karena kambing itu jahat, bukan pula karena niat kami salah. Tapi mungkin, karena kami terlalu percaya bahwa memberi itu cukup. Kami lupa bahwa niat baik tanpa pendampingan bisa berubah jadi beban. Kami lupa bahwa cinta bukan sekadar hadiah, tapi juga kehadiran.
Saat pulang kampung dan melihat bapak terbaring lemah, saya tahu ada yang harus saya putuskan. Sebelum sampai rumah, saya menyempatkan diri mencari truk untuk mengangkut kambing-kambing itu ke pasar hewan di selatan Candi Prambanan. Saya jual semuanya, kecuali dua ekor: seekor jantan dan seekor betina. Saat bapak sudah mulai enakan badannya, beliau terbangun dan terdiam karena asing dengan suasana. Rumah jadi sunyi—tak ada lagi suara gaduh kambing yang biasanya menyambut pagi.
Dengan wajah heran dan suara pelan, beliau bertanya, “Kambing-kambingnya mati ya?”
Saya tidak menjawab. Saya hanya mengulurkan sebuah tas berisi uang kertas—puluhan ribu, tebal, cukup banyak. Lebih dari dua puluh lima juta. Bapak menerima, tapi raut wajahnya tak menunjukkan bahagia. Justru kecewa. Tapi saat beliau mulai bangun dan berjalan pelan ke belakang rumah, wajahnya tampak sumringah.
Kandang baru berdiri di sana—bersih, kokoh, dengan sistem knockdown yang saya pasang diam-diam saat beliau sakit. Di dalamnya, dua ekor kambing dara hamil siap beranak menoleh pelan, seolah mengenali suara langkah bapak.
Mungkin bukan lagi tentang jumlah, tapi tentang perhatian. Mungkin bukan tentang berapa yang bisa kami beri, tapi bagaimana kami tetap bisa hadir, meski dalam bentuk yang sederhana.