Pagi ini, saat langit masih menggantungkan sisa embun semalam, aku duduk di teras kecil menghadap kebun lemon. Burung-burung mulai bersahut, dan suara air dari kolam lele pelan-pelan menyadarkanku bahwa satu hari baru telah datang --- dan bersamanya, satu perubahan lagi mengetuk.
Dulu aku terbiasa melawan perubahan. Ketika sesuatu tak berjalan sesuai rencana, aku gelisah. Ketika harus melepaskan sesuatu --- orang, pekerjaan, kebiasaan --- aku resah. Hati ini kerap keras kepala, menganggap perubahan sebagai ancaman, bukan sahabat.
Tapi hidup ternyata guru yang sabar. Ia mengajarku bahwa perubahan bukan untuk ditakuti, tapi disambut. Bahwa setiap musim, bahkan musim gugur yang menggugurkan daun, selalu punya alasan. Dan tugas kita bukan menolak, tapi menata hati agar cukup lapang untuk menerima.
Kini, sambil menyiram kebun atau memberi makan ternak, aku belajar berbicara pada diriku sendiri. Bahwa kehilangan bukan akhir, hanya bentuk baru dari pembelajaran. Bahwa kegagalan bukan musuh, hanya jalan memutar menuju pemahaman. Aku mulai menulis hal-hal kecil yang kualami --- dengan mulut, lewat voice note di ponsel, di sela-sela rutinitas di kebun. Biarkan AI membantuku menyusunnya. Tapi rasa, tetap datang dari hati yang belajar ikhlas.
Menata hati memang tidak bisa sekaligus. Tapi ia bisa dimulai hari ini. Saat kita berhenti mempersoalkan mengapa hidup tak sesuai keinginan, dan mulai bertanya: apa yang bisa kupelajari dari ini semua?
Karena sungguh, hidup tak meminta kita untuk mengerti semua hal. Ia hanya meminta kita bersedia berjalan bersama perubahan, tanpa terus menoleh ke belakang.
Hidup ini tidak ada yang pasti selain perubahan itu sendiri. Apa yang kita genggam hari ini bisa hilang besok, dan yang tampak remeh hari ini bisa menjadi penentu besar esok lusa. Maka menolak perubahan sama saja menolak hidup itu sendiri. Lebih bijak jika kita membuka tangan, membuka hati, dan membiarkan semesta membentuk ulang kita --- satu versi yang lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih kuat dari hari kemarin.
Sebagai orang Jawa, aku teringat satu ajaran leluhur: narimo ing pandum --- menerima dengan lapang dada apa pun yang menjadi bagian kita. Bukan berarti menyerah, tapi percaya bahwa segala sesuatu datang pada waktunya, dalam ukurannya, dan tak pernah salah alamat. Maka, menata hati bukan cuma soal mental, tapi juga spiritual: belajar menerima, tanpa kehilangan semangat untuk tetap melangkah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI