Di sebuah pagi yang muram, ketika embun belum sepenuhnya lenyap dari dedaunan, seorang lelaki tua mendorong gerobak reyot menyusuri gang kecil di pinggiran kota. Gerobaknya berderit nyaring, seperti mengeluh pada setiap roda yang berputar. Suaranya bersaing dengan napas tuan empunya---yang berat dan tersengal, seolah paru-parunya menyimpan debu usia.
Bapak tua itu berjalan perlahan. Kakinya sudah tidak kokoh, punggungnya membungkuk seperti memikul ribuan hari yang tak selalu ramah. Namun matanya tetap tajam, mencari sesuatu yang mungkin masih bisa dijual: botol, kardus, plastik---apapun yang dianggap tak berguna oleh orang lain, tapi bernilai bagi perutnya.
Di ujung jalan, ia melihat sebuah rumah yang tampaknya baru saja ditempati. Halaman depannya dipenuhi tumpukan kardus, plastik, dan barang-barang sisa pindahan. Harapan kecil menyelinap di dada bapak itu. Ia berhenti, menghapus keringat dari dahinya, lalu perlahan membuka suara.
"Maaf, Nak... ini, barang-barang ini... masih dipakai?"
Seorang pemuda keluar. Tubuhnya tegap, pakaiannya rapi, dan ekspresinya tajam seperti ujung pisau. Dengan nada sinis ia menatap bapak tua itu dari atas ke bawah, lalu menjawab, "Bapak mau beli? Emangnya punya uang berapa?"
Bapak tua itu diam. Ia tak bisa menjawab. Nafasnya tercekat bukan karena lelah, tapi karena sikap yang menusuk hati. Gerobaknya seolah ikut menunduk malu.
Tiba-tiba, seorang perempuan keluar dari dalam rumah. Wajahnya lembut, dan matanya memandang si bapak dengan rasa iba.
"Maaf, Pak... anak saya belum cukup belajar cara menghormati orang," katanya pelan, menegur anaknya dengan lirih.
Ia lalu mendekat ke bapak itu dan menunjuk ke tumpukan barang.
"Ambil saja, Pak. Silakan... semua itu memang sudah tidak kami pakai. Kalau Bapak tidak keberatan bantu merapikannya juga, saya justru sangat berterima kasih."