Dalam konflik ini, tidak ada satu pihak yang sepenuhnya bersih. Luka sejarah bukan hanya datang dari Israel modern, tapi juga dari peristiwa penaklukan Arab atas tanah Kanaan pada abad ke-7 M, setelah kekhalifahan Islam bangkit dari Jazirah Arab.
Tanah yang dulu dihuni bangsa Yahudi dan Kristen, termasuk Yerusalem, direbut oleh tentara Arab Muslim dari Kekaisaran Bizantium. Yerusalem—yang menjadi kota suci bagi keturunan Ishak—berubah status menjadi wilayah kekuasaan Arab-Islam, dan selama berabad-abad bangsa Yahudi hidup sebagai minoritas yang dibatasi haknya, bahkan terusir atau melarikan diri dari tanah leluhurnya.
Ini fakta yang jarang diungkap dalam wacana Timur Tengah:
Keturunan Ismail, melalui kekuatan militer dan ekspansi kekhalifahan, telah menguasai tanah yang secara historis adalah tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Israel kuno, termasuk Kanaan dan Yerusalem.
Tidak hanya itu. Ketika bangsa Israel mengalami diaspora (tersebar ke seluruh dunia), tidak ada inisiatif dari dunia Arab untuk mengembalikan mereka ke tanah asalnya. Justru narasi “mereka telah dilaknat dan dibuang” dijadikan pembenaran teologis atas penguasaan tanah.
Di sinilah kita melihat bahwa pengkhianatan terhadap nilai-nilai Ibrahim tidak hanya dilakukan oleh satu pihak.
Bangsa Arab telah menyimpang dari ajaran Ismail yang sejatinya penuh kasih, dengan menaklukkan tanah saudara mereka dan kemudian mengklaimnya sebagai milik mutlak.
Bangsa Israel kemudian membalas, dengan membentuk negara Israel lewat kekuatan militer dan politik global, tanpa cukup mengakui eksistensi warga Palestina yang telah hidup di sana selama berabad-abad.
Dua dosa saling menjawab. Dan dua luka saling memperdalam.
Resolusi Sejati: Kembali ke Ibrahim
Jika kita ingin damai sejati, maka jalan satu-satunya adalah kembali ke sangkan-paran.