Konflik Palestina–Israel adalah luka terbuka dunia modern yang belum kunjung sembuh. Setiap generasi menyaksikan perang, pengusiran, perampasan tanah, dan air mata yang mengalir di Tanah Kanaan—tanah yang diyakini suci oleh tiga agama besar dunia. Namun, semua resolusi damai yang ditawarkan sejauh ini hanya menyentuh permukaan: batas wilayah, pengungsi, kedaulatan. Tidak ada satu pun yang benar-benar menembus akar terdalam persoalan ini: pengkhianatan terhadap jejak spiritual Ibrahim.
Dalam kacamata sangkan paran—filsafat asal-usul dan tujuan dalam kebijaksanaan Jawa kuno—konflik ini bukan hanya pertarungan politik, tapi sebuah penyimpangan dari garis spiritual warisan Ibrahim (Abraham), bapak dari dua bangsa: Arab dan Israel. Dari sinilah seharusnya semua resolusi dimulai.
Sangkan: Jejak Dua Anak Ibrahim
Nabi Ibrahim dikenal dalam tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam sejarahnya, Ibrahim memiliki dua anak yang menjadi leluhur dua bangsa besar. Ismail—anak dari Hagar—tinggal di Jazirah Arab dan menjadi cikal bakal bangsa Arab. Ishak—anak dari Sarah—tinggal di sisi timur, di tanah Kanaan, dan menjadi leluhur bangsa Israel.
Sejak awal, mereka adalah dua saudara. Bukan musuh. Mereka lahir dari panggilan yang sama: tauhid, tunduk kepada Tuhan, dan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi. Namun, dalam perjalanan sejarah, jejak suci itu mulai terhapus oleh keserakahan, ambisi kekuasaan, dan kebencian yang diwariskan turun-temurun.
Paran: Ketika Darah Menuntut Tanah
Setelah masa Ibrahim, tanah Kanaan menjadi titik benturan. Bangsa Israel—keturunan Ishak—membangun peradaban mereka di sana. Namun, serangkaian penjajahan, mulai dari Babilonia, Yunani, Romawi, hingga masa Arab-Islam, membuat bangsa Israel tercerai-berai ke seluruh dunia. Dalam sejarahnya, tak sedikit keterlibatan beberapa suku Arab dalam proses penyingkiran ini.
Di sisi lain, bangsa Arab (keturunan Ismail) berkembang pesat di Jazirah Arab. Setelah munculnya Islam, mereka menjadi kekuatan besar dan memperluas wilayah ke Kanaan dan sekitarnya. Tanah itu kemudian dikenal sebagai Palestina.
Sayangnya, klaim spiritual yang seharusnya menyatukan dua bangsa ini justru berubah menjadi alat kekuasaan dan penyingkiran. Bangsa Israel yang dulu terusir, kembali dengan gerakan Zionisme—yang pada awalnya adalah gerakan sekuler, namun dibungkus narasi “tanah yang dijanjikan.” Mereka mendirikan negara Israel, seringkali dengan cara yang menyakitkan hati bangsa Arab Palestina yang tak tahu diri sudah lama tinggal di sana menduduki hak bangsa lain.
Dosa Dua Bangsa