Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "wisata halal" semakin sering digunakan sebagai bagian dari strategi pemasaran di industri pariwisata. Namun, jika kita telaah lebih dalam, ada pergeseran makna yang patut dikritisi. Apakah wisata itu sendiri bisa dikategorikan sebagai halal atau haram? Ataukah sebenarnya perilaku wisatawan yang menentukan statusnya? Artikel ini akan membahas bagaimana konsep "wisata halal" dapat menciptakan bias dalam berpikir dan bagaimana seharusnya kita memahami fenomena ini secara lebih jernih.
Wisata Itu Netral, Pelaku yang Menentukan
Secara inheren, wisata adalah aktivitas perjalanan untuk rekreasi, eksplorasi budaya, atau keperluan lainnya. Tidak ada yang intrinsik "haram" dalam sebuah pantai, gunung, atau kota wisata. Sebaliknya, yang berpotensi membuat suatu aktivitas wisata menjadi tidak sesuai dengan norma-norma tertentu adalah bagaimana wisatawan itu sendiri berperilaku.
Misalnya, sebuah pantai tetaplah pantai. Jika seseorang datang untuk menikmati keindahan alam, berenang, atau sekadar bersantai, maka tidak ada yang bertentangan dengan konsep halal. Namun, jika ada yang menjadikannya tempat untuk pesta minuman keras atau aktivitas yang bertentangan dengan nilai moral tertentu, apakah pantai tersebut menjadi haram? Tentu tidak, yang berubah adalah cara wisatawan memanfaatkannya.
Branding atau Pengkotakan?
Konsep "wisata halal" sering kali lebih banyak berbicara soal fasilitas yang disediakan, seperti ketersediaan makanan halal, tempat ibadah, serta kebijakan-kebijakan yang menyesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Dari sudut pandang bisnis, ini adalah strategi yang sah-sah saja, bahkan menguntungkan bagi industri yang ingin menarik wisatawan Muslim. Namun, ketika konsep ini dibawa ke ranah yang lebih luas, ada risiko munculnya pengkotakan dan bias pemahaman.
Misalnya, apakah destinasi yang tidak diberi label "wisata halal" otomatis menjadi "tidak halal"? Tentu tidak. Labelisasi ini justru dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa destinasi tanpa embel-embel "halal" berarti tidak cocok untuk wisatawan Muslim, padahal bisa jadi fasilitas dan suasananya tetap mendukung nilai-nilai yang dipegang.
Dampak Sosial dan Kultural
Ketika istilah "wisata halal" dijadikan standar dalam promosi pariwisata, ada kemungkinan menciptakan segregasi dalam pengalaman wisata. Alih-alih menikmati keberagaman budaya, wisatawan bisa jadi merasa terbatas hanya dalam zona yang diberi label "halal". Ini bisa menghambat interaksi lintas budaya yang seharusnya menjadi bagian penting dari pengalaman berwisata.
Di sisi lain, negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim yang mempromosikan wisata halal juga bisa tanpa sadar membentuk eksklusivitas yang justru bertolak belakang dengan semangat pariwisata itu sendiri, yang idealnya inklusif dan memperkaya pemahaman antarbudaya.