Siang itu Jogja tak seperti biasanya. Di pertengahan bulan Juli yang sedang panas-panasnya, langit mendadak mendung. Sesekali pula terdengar suara guruh menggelegar. Pertanda kalau kemarau yang panas ini akan berakhir lebih cepat dari biasanya.
Cakra masih belum beranjak dari tempat duduknya. Dipandanginya terus menerus surat itu. Sepucuk surat yang akan mengubah jalan hidupnya. Yang membuat dirinya berfikir seribu kali dan melamun berhari-hari.
"Masih bingung le?" tiba-tiba suara ibunya terdengar dari balik kamar.
"Iya buk." Jawabnya tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari surat itu.
Dengan tergopoh-gopoh ibunya beranjak dari tempat tidur. Sakit maag yang dideritanya terkadang membuat tubuhnya langsung drop kalau sedang kumat. Perlahan ia berjalan, lalu duduk di samping anak semata wayangnya itu.
"Kamu itu anak laki-laki le, harus bisa menentukan pilihan."
"Kalau saya pergi, Ibu siapa yang menemani? Yang bantu-bantuin? Atau yang merawat ketika sakit?"
"Halah...ibuk kok kamu pikirin. Meski sakit ibuk ini kambuhan, tapi ibuk ini masih kuat kan buat berdiri? Masih kuat kan buat berjalan ke pasar? "
Cakra hanya tersenyum kecut. Ia masih terus memandangi surat itu. Hatinya bergejolak. Bingung antara berangkat atau tinggal ditempat.
"Le, ibuk sama bapakmu dulu menyekolahan kamu sampai bangku kuliah bukan untuk bantuin ibuk jualan dipasar, tapi biar kamu bisa kerja kantoran, bisa ngangkat derajat keluarga kita. Kamu masih ingat kan pesan almarhum bapakmu?"
"Iya buk, saya ingat. Bapak ingin lihat saya kerja kantoran. Gak seperti bapak yang kerjanya serabutan. Tapi...."