Mohon tunggu...
Priscila Andini Ratubanju
Priscila Andini Ratubanju Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Teologi, Program Studi Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana

Saya merupakan mahasiswa Prodi Magister Sosiologi Agama, UKSW. Saya tertarik dengan isu-isu etis dan sosial, khususnya yang berkaitan dengan keadilan, martabat manusia, dan nilai-nilai iman Kristen, serta pada kajian teologi, etika, dan antropologi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tinggi Sekolah, Tapi Tak Bebas Luka: Mengapa Kekerasan Tak Pilih Gelar?

18 Juni 2025   08:30 Diperbarui: 17 Juni 2025   19:38 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ia lulusan universitas ternama, pekerja kantoran dengan gaji stabil, dan tampak percaya diri di hadapan publik. Namun, di balik pintu rumahnya, ia menyembunyikan lebam di pergelangan tangan dan trauma yang tak mudah diceritakan. Ini bukan kisah langka. Di Indonesia, semakin banyak perempuan berpendidikan tinggi yang tetap menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual. Di antara deretan gelar akademik dan karier mapan, tersembunyi kisah-kisah pilu yang jarang terdengar. Banyak dari mereka menghadapi kekerasan di rumah tangga, dalam hubungan pacaran, atau bahkan di lingkungan kerja yang seharusnya aman.

Berbagai laporan dan hasil pendampingan lembaga layanan korban menunjukkan bahwa gelar akademik atau jabatan pekerjaan tidak menjamin seseorang terbebas dari relasi yang menyakitkan. Data Komnas Perempuan secara konsisten memperlihatkan bahwa kekerasan berbasis gender dapat terjadi pada siapa saja, termasuk perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi. Selama ini, pendidikan sering kali dipahami sebagai "senjata melawan ketertindasan." Namun realitas sosial menunjukkan bahwa kekerasan bukan hanya persoalan ketidaktahuan, tetapi juga menyangkut relasi kuasa yang timpang, budaya patriarki yang mengakar kuat, serta normalisasi perilaku abusif yang diam-diam dibenarkan dalam relasi personal maupun publik.

Banyak perempuan terpelajar terjebak dalam relasi toxic bukan karena mereka tak mengerti, tapi karena mereka menghadapi tekanan dari lingkungan: rasa malu, tuntutan keluarga, hingga stigma sosial yang justru menyalahkan korban. Tak jarang, pendidikan tinggi malah digunakan untuk membungkam suara mereka, dengan komentar semacam: "Kamu pintar, masa gak bisa hadapi ini sendiri?" Padahal, kekerasan bukan soal kepintaran, melainkan soal sistem yang membiarkan pelaku tetap leluasa menyakiti tanpa konsekuensi. Pendidikan yang berfokus pada pencapaian akademik semata seperti IPK, prestasi, atau gelar, ternyata tidak selalu membekali seseorang dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan dalam kehidupan nyata.

Di balik kekerasan yang terus berulang, tersembunyi pertanyaan mendasar tentang moral: mengapa ini salah? Siapa yang menentukan benar dan salah? Apakah nilai-nilai yang kita pegang hari ini sungguh lahir dari nalar dan empati, atau hanya warisan budaya patriarkal yang belum pernah diuji ulang? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali arah pendidikan. Pendidikan yang sejati semestinya tidak hanya membentuk logika, tetapi juga nurani. Ia harus mampu menumbuhkan keberanian untuk membongkar budaya diam, serta kepekaan moral untuk menyadari bahwa relasi kuasa yang timpang bukanlah hal wajar yang bisa ditoleransi.

Kekerasan terhadap perempuan, bahkan pada mereka yang memiliki akses pada pendidikan tinggi, menunjukkan bahwa kemampuan berpikir rasional saja belum cukup. Rasionalitas yang sejati justru menuntut kita untuk menguji norma-norma yang menindas, mempertanyakan praktik yang membungkam, dan menolak pembenaran terhadap perilaku abusif betapa pun halus bentuknya. Di sinilah pentingnya kebajikan dalam pendidikan. Nilai seperti kasih, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia tidak bisa hanya menjadi teori di ruang kelas, tetapi harus ditanamkan, dilatih, dan dihidupi dalam kehidupan sehari-hari mulai dari rumah, lingkungan belajar, hingga ruang publik.

Kini saatnya kita berhenti bertanya "Mengapa ia tak pergi?", dan mulai bertanya, "Apa yang membuat ia tak merasa aman untuk pergi?" Sebab bagi banyak perempuan, pendidikan boleh tinggi, tapi tanpa dukungan sistemik, mereka tetap bisa terjebak dalam kekerasan yang membungkam. Kebenaran yang paling menyembuhkan bukan yang disimpan rapat, melainkan yang diucapkan dengan jujur, meskipun menyakitkan. Dan di antara banyak kebenaran yang harus kita hadapi, salah satunya adalah bahwa kekerasan bisa menyelinap di balik gelar, prestasi, dan senyum yang terlihat kuat. Maka, tak ada alasan yang bisa membenarkan kekerasan, dan pendidikan harus menjadi ruang yang membebaskan, bukan hanya dari kebodohan, tapi juga dari ketakutan, ketidakadilan, dan kekerasan dalam segala bentuknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun