Mohon tunggu...
Prisca Yulanda
Prisca Yulanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia

6 Maret 2024   22:05 Diperbarui: 6 Maret 2024   22:19 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Alat bukti surat diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 1866 ayat (1) KUHPer, Pasal 164 HIR, serta dalam Pasal 284 RBg (Fernando Lobis, 2017). Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti surat sendiri dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, berisi curahan hati atau buah pikiran, dan dibuat untuk tujuan pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Secara garis besar, surat dapat dibagi menjadi surat berupa akta dan surat lainnya (bukan akta). Lebih jauh lagi, akta dapat dibagi menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik yang dapat dibagi juga menjadi akta pejabat dan akta pihak. 

Surat sebagai akta sengaja dibuat untuk tujuan pembuktian bahwa suatu kejadian hukum telah dilakukan tanpa mempedulikan medianya. Artinya, pembuatan akta tidak selalu berarti bahwa bukti tersebut akan digunakan di persidangan (Deasy Soeikromo, 2014). Adapun persyaratan menurut Sudikno Mertokusumo untuk sebuah surat dikatakan sebagai akta, maka diperlukan adanya tanda tangan dari para pihak yang membuatnya yang berfungsi untuk identifikasi akta yang dibuat seseorang agar tidak dipalsukan oleh orang lain (H. Enju Juanda, 2016). 

Tanda tangan ini juga tidak bisa dilakukan oleh seseorang yang masih dianggap belum cakap untuk melakukan  perbuatan hukum. Jika hal ini dilanggar, maka perbuatan hukum tersebut dianggap sebagai tidak sah dan akta tersebut tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Mengenai tanda tangan dalam akta juga diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata. Surat sebagai akta dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah tangan.

Akta otentik merupakan akta yang bentuknya telah diatur dan ditentukan undang-undang serta harus dibuat oleh pejabat yang telah diberi wewenang oleh penguasa dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Dalam Pasal 165 HIR, akta otentik diartikan sebagai surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang atas permintaan pihak yang berkepentingan.

 Inisiatif dalam pembuatan akta oleh pejabat yang berwenang berasal dari pejabat itu sendiri, contohnya adalah berita acara persidangan. Lain dengan hal tersebut, akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang inisiatifnya berasal dari para pihak dan contohnya adalah akta notaris untuk kegiatan jual beli . 

Akta ini dibuat untuk pembuktian bahwa suatu perbuatan hukum telah terjadi dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila di masa depan terdapat sengketa yang berhubungan dengan perbuatan hukum tersebut. Kekuatan pembuktian dari akta otentik adalah sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). 

Walaupun begitu, tetap terdapat persyaratan untuk kekuatan pembuktian tersebut, yaitu harus dipenuhinya ketentuan dalam pembuatan akta dan tidak ada bukti dari pihak lawan yang dapat membuktikan lain dari akta tersebut sebagaimana yang diatur secara khusus dalam Pasal 138 HIR (H. Enju Juanda, 2016).

Akta bawah tangan di sisi lain merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa campur tangan pejabat dengan tujuan pembuktian. Akibatnya, kekuatan pembuktian akta bawah tangan hanya dapat menjadi sempurna seperti akta otentik apabila tanda tangan yang tercantum telah diakui oleh para pihak pembuat akta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Stbl 1867 Nomor 29. 

Apabila tanda tangan tersebut disangkal oleh pihak yang menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta tersebut harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan tersebut kepada hakim sehingga kekuatan pembuktiannya jadi tidak mengikat (tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir). Pengaturan lainnya mengenai akta bawah tangan tidak dapat ditemukan di HIR, akan tetapi terdapat dalam Pasal 286 -- Pasal 305 RBg untuk luar Jawa dan Madura serta dalam Pasal 1874 -- Pasal 1880 KUHPerdata (H.R. Benny Riyanto, 2021).

Selanjutnya untuk alat bukti surat lainnya yang bukan akta tidak diatur secara khusus dalam HIR dan RBg. Alat bukti surat bukan akta hanya disebutkan dalam Pasal 1874, 1881 dan 1883 KUHPerdata yang mengatur bentuk alat bukti surat bukan akta, yaitu dalam bentuk buku daftar (register), surat rumah tangga dan juga catatan yang dibubuhi oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya . 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun