Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Narasi Baru dalam Khasanah Sastra Indonesia

10 Mei 2016   15:31 Diperbarui: 10 Mei 2016   16:56 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pringadi Abdi. Triyanto Triwkromo. Budi Darma. Guntur Alam. Dokumentasi panitia.

Kebaruan. Satu kata ini menjadi penting bagi penulis mana saja jika ingin menjadi penulis penting dalam khasanah sastra Indonesia. Kebaruan itu bisa jadi dalam bentuk tema ataupun narasi. Beberapa tahun belakangan muncul nama-nama baru dalam dunia prosa kita yang membawa kebaruan itu. Sebut saja Rio Johan dengan bukunya Aksara Amananunna yang membawa kesegaran, dunia baru yang tak tersentuh banyak penulis sebelumnya. Di puisi ada nama Mario F. Lawi, penyair asal Kupang yang membawa imaji biblikal dipadukan dengan kepercayaan Sabu di dalam puisi-puisinya

Pada pagelaran ASEAN Literary Festival 2016 lalu, ada satu sesi yang khusus membahas “Old Story, New Narratives” dengan menghadirkan dua prosais senior, seorang legenda Budi Darma dan Triyanto Triwikromo. Sesi itu juga didampingi dua penulis muda, yakni Guntur Alam dan Pringadi Abdi Surya. Hal ini seakan untuk mengamini topik dalam membandingkan dunia lama dan dunia baru.

Dunia tentu berubah. Manusia juga berubah. Generasi yang lahir tahun 80-an seperti saya sangat merasakan betapa cepatnya perubahan terjadi setelah reformasi. Berbeda dengan generasi belakangan, generasiku merasakan hidup di dua dunia. Aku menyebutnya dunia tradisional yang merujuk kepada kebudayaan dan dunia modern. Perubahan dunia dan manusia juga berimbas pada perubahan karya sastra itu.

Dunia kini yang serbainstan ternyata juga menyebabkan kecenderungan penulis-penulis kini berkutat pada bentuk narasi ketimbang kedalaman. Yang terjadi adalah eksperimen bahasa, menemukan bentuk paling ideal, tetapi karyanya tak memiliki analisis yang memadai. Hal itu sebenarnya tak hanya terjadi dalam fiksi. Dalam nonfiksi juga, hipotetico deductive tak terpahami dengan baik. Penulis jadi tak mengenali masalah... baik itu menganggap semua hal adalah masalah (padahal hanya symptom/gejala), maupun menganggap semua hal bukan masalah.

img-20160506-180621-57319c5827b0bdab05b9f5f7.jpg
img-20160506-180621-57319c5827b0bdab05b9f5f7.jpg
Old Story New Narratives. Dokumentasi teman.

Dalam kesempatan ini, Triyanto Triwikromo menambahkan bahwa ketidakmampuan penulis dalam mengenali subjek adalah kurang tabahnya mereka dalam melakukan riset. Pramoedya Ananta Toer dapat menghidupkan karakter manusia Hindia Belanda dalam Bumi Manusia karena riset. Hendri Teja bisa menghidupkan keminangan Tan Malaka dalam novel TAN juga karena riset. Penulis menghabiskan waktu yang jauh lebih lama, bahkan seperti Ka dalam novel Snow yang langsung datang sendiri ke Kars untuk mengenali detail dalam sebuah wilayah.


Riset dalam arti luas juga berarti penulis juga harus membaca karya-karya masa lalu. Bila tidak membaca mereka, bagaimana kita bisa tahu kalau yang kita lakukan adalah sesuatu yang baru? Membaca karya masa lalu adalah lorong untuk menuju masa depan. Misalnya saja, pengakuan Budi Darma atas pengaruh Franz Kafka melahirkan Kritikus Adinan. Juga Haruki Murakami, penulis asal Jepang yang beberapa kali mendapatkan nominasi Nobel, mengaku terpengaruh Kafka dan George Orwell sehingga lahirlah Kafka On The Shore dan Trilogi IQ84.

Pengaruh bukan berarti meniru. Pengaruh berarti menemukan kemungkinan penceritaan baru, sudut pandang berbeda atas subjek dan objek penceritaan karena pada dasarnya cerita bersifat terbuka. Bahkan ada anggapan, karya sastra yang baik, bila dibaca 10 orang, maka kesepuluh orang itu akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Atas pemahaman itu pula, kita bisa menemukan tafsir lain atas sebuah karya dan sebagai penulis itu penting.

Membaca  Kafka lebih jauh kita akan memahami betapa penderitaan mengakrabi dirinya. Kafka seorang Yahudi, menderita penyakit TBC, dan hal-hal itu membuat energi di dalam dirinya begitu dahsyat. Juga bila kita baca sastrawan-sastrawan Indonesia... yang memiliki tekanan. Bisa dilihat dari sejarah panjang sastra Indonesia, tulisan-tulisan itu memiliki musuh bernama Belanda, tirani, Orde Baru. Namun, bakda reformasi, ketika kebebasan ada sedemikian rupa, kita seakan-akan kehilangan musuh yang terlihat. Kini kita memiliki musuh yang tak terlihat dan banyak yang tak menyadarinya.

Budi Darma menyebut musuh kita saat ini adalah diri kita sendiri.

Bagaimana denganmu?

(2016)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun