Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Social Distance, Apa Kabar Kami Pengguna Transportasi Publik?

13 Maret 2020   00:02 Diperbarui: 17 Maret 2020   16:53 3193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang Commuterline di stasiun Citayam. | Foto: Dokumentasi pribadi

Covid-19 sudah resmi jadi pandemi. Wabah global. Solidaritas menjadi kata kunci untuk menghadapi pandemi ini.

Status pandemi bukan mengubah status seberapa berbahaya virus, tapi sikap kita semua saat menghadapinya. Tidak boleh meremehkan. Meski tidak boleh juga ketakutan.

Sebab, bila tetap bersikap sama, berbagai ahli statistik menunjukkan, grafik eksponensial terjangkit dan kematian yang disebabkan akan benar-benar di luar kendali. Beberapa perhitungan yang dilakukan menghasilkan angka kematian bisa mencapai 3 juta jiwa dalam setahun di Amerika saja. 

Angka prediksi lain juga mengatakan jika ada 34 kasus positif terjangkit yang terindentifikasi, sesungguhnya jumlah kasus yang tidak terindentifikasi antara 300-1000 orang.

Social Distance menjadi saran semua pihak sebelum segalanya terlambat. Social Distance berarti memberi jarak pada orang-oramg di ruang sosialnya. Italia sudah menutup kotanya. Denmark juga demikian. 

Baru saja Manila menutup kotanya karena kesadaran kurangnya fasilitas kesehatan bila wabah menimpa mereka lebih banyak lagi. Begitu pula Mongolia meski baru 1 korban terjangkit, langsung menutup penerbangannya dari dan ke luar negeri.

Social Distance menjadi salah satu cara ampuh untuk menghadapi grafik eksponensial penyebaran virus. Akses dibatasi. Ruang publik yang menimbulkan keramaian juga dihilangkan. Semua agar otoritas kesehatan fokus pada kasus yang sudah ada dan menjaga agar grafik eksponensial tersebut menurun.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Lockdown dianggap tidak tepat dilakukan karena Indonesia adalah negara kepulauan. Belum lagi efek sosial kepanikan yang ditimbulkan di luar jangkauan kontrol pemerintah. Setidaknya itu hasil diskusi perwakilan pemerintah di Kompas TV dengan Aiman Wicaksono tadi.

Namun, bila itu tidak dilakukan, lalu tidak ada solusi lain?

Bagaimana dengan para pengguna transportasi publik? Saya yang naik KRL dari Citayam ke Juanda terus terang saja merasa panik. Risiko setiap hari selalu ada. Apalagi bila melihat orang batuk pilek di gerbong kereta masih saja tidak memakai masker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun