Kedua gadis itu tentu saja gembira. Setelah ternak-ternak mereka minum sekenyang-kenyangnya, kedua gadis itu mengucapkan terima kasih dan berpamitan pulang.
Sore menjelang, telaga itu pun sunyi kembali. Pemuda itu kembali duduk bersandar di batang pohon kurma. Sembari melepas lelah, ia memikirkan segala perbuatan dan pilihannya yang akhirnya membawanya ke sebuah negeri asing.
Pemuda itu memang menyesali dan bertobat atas pembunuhan yang sudah dilakukannya. Lantas apakah ia menyesal dan berkeluh kesah karena memilih untuk melarikan diri, alih-alih mengaku dan meminta keringanan hukuman pada sang raja?
Tidak! Â Ia tidak menyesali pilihannya melarikan diri, meski ia kepayahan dan ditimpa kelaparan. Ia memilih berdoa, yang doanya diabadikan sepanjang jaman di dalam Al-Qur'an.
"Rabbi, inni lima anzalta ilayya min KHAIRIN faqiir.
Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan KEBAIKAN yang Engkau turunkan padaku." Â (Q.S. Al-Qashash [28] : 24)
Dialah Musa a.s, yang doanya sederhana ketika ia dihadapkan pada kebingungan hidup di usianya yang baru 20 tahunan.
Allah pun mengabulkan doa Nabi Musa a.s. Dengan doa sederhana meminta KEBAIKAN itu, Nabi Musa dianugerahi makanan, pekerjaan, pernikahan bahkan kemuliaan berupa derajat yang sangat tinggi, diangkat menjadi Rasul Allah.
Kedua gadis yang ia tolong ternyata putri Nabi Syuaib a.s. Setelah pulang ke rumah, kedua gadis itu menceritakan pengalaman mereka ditolong seorang pemuda tak dikenal. Nabi Syuaib tertarik dan ingin mengetahui perihal pemuda itu, dan menyuruh kedua putrinya untuk mengundang Musa a.s ke rumah.
Setelah bertemu dengan Nabi Syuaib, Musa menjadi anggota keluarganya. Di negeri Madyan, Musa merasa aman. Ia mengisi hari-harinya dengan membantu kedua putri Nabi Syuaib menggembalakan kambing. Hingga kemudian Nabi Syuaib menjodohkannya dengan salah satu dari kedua putrinya yang bernama Shufairah.
***