Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengaku Ustaz Jangan Sembarangan Mengeluarkan Fatwa!

7 Februari 2021   20:16 Diperbarui: 7 Februari 2021   20:46 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panggilan atau gelar ustaz memiliki konsekuensi yang sangat berat dan bukan termasuk yang bisa mengeluarkan fatwa (Foto: Tribunnews/Danny Permana)

Saya heran dengan sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang bangga bila dipanggil "ustaz". Bahkan tanpa segan mempromosikan dirinya sendiri sebagai ustaz. Tak jarang, dan ini yang semakin membuat rasa heran saya memuncak, orang-orang yang mengaku ustaz ini tiba-tiba mengeluarkan hukum atau fatwa.

Seperti yang dilakukan Aldi Taher. Tak ada hujan tak ada angin, mantan suami artis Dewi Perssik ini mengeluarkan fatwa bahwa pansos (panjat sosial) tidak haram!

"Deddy Corbuzier pansos ke Aldi Taher, lalu Aldi Taher pansos ke Deddy Corbuzier, jadi pansos kan nggak haram. Kecuali tema pansosnya itu kemaksiatan, itu baru haram. Jadi santai saja," tutur Aldi Taher dalam sebuah sesi wawancara pada wartawan, Jumat (5/2/2021).

Terlepas dari perkara fatwanya, Bagi saya pribadi panggilan atau gelar ustaz memiliki konsekuensi yang sangat berat.

Menurut pengertian masyarakat Timur Tengah, dalam kerangka sosial gelar 'ustaz' hanya layak diberikan pada orang yang sudah menguasai setidaknya dua belas cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits. Berat kan?

Jadi, gelar ustaz bisa disandang dengan melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi sekedar melalui audisi di layar televisi atau mengaku sendiri. Bisa berceramah pun bukan alasan untuk bisa dikategorikan ustaz.

Tak hanya dari sisi keilmuan, kompetensi dan pengetahuan agama, gelar ustaz juga menuntut konsekuensi tanggung jawab terhadap umat. Kaum muslim yang awam sering menyandarkan permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan ulama. Dan dalam kaidah syariat Islam, tanggung jawab untuk mengambil serta mengeluarkan fatwa dan hukum agama terletak di tangan seorang mufti.

Di kalangan ulama muslim ada sejumlah perbedaan dalam penentuan syarat seorang mufti, namun semua sependapat bahwa mereka harus menguasai ilmu Al Quran dan Hadis. Menurut Imam Syafi'i, seorang mufti harus menguasai Al Quran dan Hadis, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya (hakikat dari ayat Al Quran yang diturunkan Allah), dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya ayat Al Quran) serta asbabul wurud (kronologi)-nya.

Karena Al Quran dan Hadis berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab, demi menghindari salah tangkap terkait makna sebuah ayat atau hadis. Selain syarat tersebut, seorang mufti juga disyaratkan dewasa, sehat akalnya, dan tentu saja beragama Islam.

Mufti juga harus menguasai persoalan-persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat terkait hukum fikih Islam), memahami ushul fikih dengan baik, dan terpercaya serta jujur, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi dalam kitab Al-Luma fi Usulil Fiqh. Tanpa syarat-syarat di atas, seseorang tidak diizinkan menjadi mufti, mengambil putusan atau fatwa terhadap sebuah perkara apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun