Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkades Ditunda tapi Pilkada Jalan Terus, Logika Sesat ala Pemerintah

23 September 2020   22:56 Diperbarui: 23 September 2020   23:00 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bila alasannya rawan penyebaran Covid-19, Pilkades lebih mudah dikontrol daripada Pilkada (ilustrasi: Antara Foto melalui tempo.co)

Saya tak habis pikir, ada kepentingan apa di balik kengototan pemerintah yang tetap ingin menyelenggarakan pilkada serentak 9 Desember 2020 nanti. Padahal banyak pihak yang sudah menyarankan agar pemerintah menunda saja penyelenggaraan pilkada 2020.

Dua organisasi Islam terbesar di tanah air, NU dan Muhammadiyah, satu suara mendesak pemerintah untuk menunda pilkada. Faktor kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi pertimbangan utama mengingat masih banyak wilayah di Indonesia berstatus zona merah pandemi Covid-19.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga ikut memberi opini. Menurut Jusuf Kalla dalam opininya di Kompas, Senin, (3/9/2020), "[...] kalau dalam proses pemilihan pemimpin itu sudah jelas-jelas justru membuat rakyat bisa sakit, bahkan meninggal, buat apa kita mendesakkan keinginan menyelenggarakan pemilihan tersebut."

Namun, tampaknya telinga pemerintah sudah tuli. Situasi pandemi yang masih belum terkendali juga tidak menyurutkan nyali pemerintah. Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu malah bersepakat untuk tetap melanjutkan tahapan pilkada 2020 dengan puncak acara hari pemungutan suara akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Pilkades Ditunda Tapi Pilkada Jalan Terus

Selain keras kepala, pemerintah juga sesat logika. Dengan alasan untuk menekan dan mencegah penyebaran Covid-19, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri memutuskan untuk menunda 3.000 Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

"Dengan kewenangan saya selaku Mendagri, saya perintahkan [Pilkades] untuk tunda sampai dengan Pilkada selesai," kata Mendagri Tito Karnavian dalam webinar nasional seri 2 KSDI, Minggu (20/9/2020).

Tito beralasan sulit mengontrol pelaksanaan Pilkades, terutama dalam situasi pandemi.

"Karena pilkada bisa kami kontrol, tapi kalau pilkades penyelenggara tiap kabupaten masing-masing. Iya kalau punya manajemen yang baik, kalau tidak rawan sekali [penyebaran COVID-19]," jelas Tito. 

Aneh kan?

Dengan dalih penyelenggaraan Pilkades berada di bawah manajemen Kabupaten dan wewenang Bupati, pemerintah pusat mengaku tidak bisa mengontrolnya. Berbeda dengan Pilkada yang berada di bawah kontrol langsung pemerintah pusat.

Benar-benar logika sesat yang ditunjukkan pemerintah kali ini. Kalau pemerintah pusat mengaku tidak bisa mengontrol jalannya 3.000 Pilkades, bagaimana mereka bisa mengontrol pemungutan suara di 12 ribuan desa dari 224 Kabupaten dan 37 Kota di 9 Provinsi?

Pilkada Lebih Rawan Penyebaran Covid-19 Dibandingkan Pilkades

Bila alasan ditundanya Pilkades itu karena khawatir penyelenggaranya -- dalam hal ini pemerintah Kabupaten - tidak bisa mengatur dengan baik sehingga rawan terjadi penyebaran Covid-19, justru penyelenggaraan Pilkada lebih rawan lagi.

Peserta Pilkades jarang sekali mengumpulkan massa di tempat terbuka. Mereka lebih memilih langsung berkunjung ke rumah-rumah warga, atau minimal meminta pertemuan tatap muka tingkat RT/RW atau dusun. 

Ya, mungkin ada beberapa calon kepala desa menggelar acara dangdutan untuk menarik simpati warga agar memilihnya. Namun, bila ada sanksi tegas dari penyelenggara, hal ini bisa dihindari.

Berbeda dengan Pilkada. Meskipun Mendagri Tito sudah meminta agar peserta pilkada tidak menggelar konser musik, namun KPU sudah memberi lampu hijau dan hingga saat ini belum merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19. Potensi konsentrasi massa yang banyak saat kampanye lebih mungkin terjadi di Pilkada daripada di Pilkades.

Begitu pula dengan kerawanan penyebaran Covid-19 di hari pemungutan suara. Pilkades lebih mudah diawasi dan dikontrol daripada Pilkada. Jumlah warga yang menggunakan hak pilih di Pilkades lebih sedikit daripada jumlah warga yang mencoblos saat Pilkada.

Lagipula, sangat sedikit desa-desa yang menyelenggarakan Pilkades berstatus zona merah. Dengan begitu, tingkat penyebaran Covid-19 di desa-desa juga masih rendah dibandingkan di kampung-kampung kota besar yang menyelenggarakan Pilkada.

Bandelnya pemerintah yang ngotot tetap menyelenggarakan Pilkada di saat pandemi masih belum surut akhirnya menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ada udang di balik batu?

Benarkah ini murni keinginan pemerintah untuk menjaga hak konstitusi rakyat? Atau, justru ini keinginan cukong-cukong Pilkada yang sudah tak sabar ingin melihat jagoannya memenangkan pertarungan dan menjadi penguasa daerah.

Hak konstitusi rakyat seharusnya tidak boleh mengabaikan keselamatan rakyat itu sendiri. Karena seperti yang dikatakan Jusuf Kalla, buat apa kita mendesakkan keinginan menyelenggarakan Pilkada jika dalam prosesnya dapat membuat rakyat sakit bahkan meninggal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun