Mohon tunggu...
Prilia Dwi Putri
Prilia Dwi Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Undergraduate university student of Sociology of Faculty Social and Political Science of at Padjadjaran University and I am someone who like new things and learn to grow up to provide more value for me and other people around me. Have interested in Industry of Content Creating, Administrative Management, Human Resource, Public Relation, Advocation, Research and Social Project which shape social responsibility for community development with a background in Sociology.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemiskinan Struktural menjadi Penyebab Problematika Tuberkulosis? Apakah Benar?

11 Desember 2023   14:26 Diperbarui: 11 Desember 2023   23:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemiskinan. Sumber blog.insanbumimandiri.org

Penulis: Prilia Dwi Putri, Tania Ernawan, Silfy Rabani, Lanita Enggarati, Nur Tsani Hasanah & Departemen Keilmuan Himpunan Mahasiswa Sosiologi 2023

Peningkatan kesehatan merupakan elemen kunci dari agenda pembangunan pemerintah Indonesia. Hal ini bahkan tertuang langsung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020—2034 yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berpendidikan. Fokus utamanya adalah memperbaiki kesehatan fisik dan kecerdasan otak warga Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, dan perbaikan gizi, sebagai bagian dari upaya menciptakan individu Indonesia yang berkualitas dan unggul. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah adalah mengenai penyakit menular.

Tuberculosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB menyebar dari satu orang ke orang lainnya melalui transmisi udara pada droplet penderita TB. TB merupakan penyakit menular yang kasusnya cukup tinggi di kalangan masyarakat. WHO mencatat bahwa penderita TB di Indonesia menempati posisi kedua terbanyak setelah India. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena TB dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya.

Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai penyumbang penderita TB terbanyak di Indonesia. Di Kota Bandung sendiri, penderita TB berjumlah 8813 per tahun 2019. Angka ini cukup mengkhawatirkan sehingga membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah sendiri telah menciptakan berbagai program guna menghadapi penyakit TB di tengah masyarakat, salah satunya yaitu program Eliminasi TBC tahun 2030. Hal ini menjadi penyemangat tersendiri bagi para penyintas TB untuk dapat sembuh seratus persen.

Akan tetapi, berbagai program dan semangat untuk sembuh para penyintas ini tidak dibarengi dengan kesiapan mentalitas masyarakat. Tak sedikit para penyintas yang mengalami diskriminasi dari masyarakat atas penyakit TB yang dialaminya. Dalam hal ini, stigma masyarakat menjadi salah satu pendorong dalam pemulihan dan penyembuhan penyakit TB. Oleh karena itu, berdasarkan kasus tersebut, TB tidak hanya dipandang dari sisi kesehatan. Namun, penting pula dilihat dalam sisi akademis kesosialan guna mendukung kestabilan kesehatan dan kegiatan bersosial penderitanya.

Kompleksitas problematika di tengah kehidupan masyarakat menjadi dasar kegiatan kolaborasi antara STPI Penabulu Kota Bandung melalui Himpunan Mahasiswa Sosiologi FISIP Unpad Departemen Keilmuan dalam menyediakan wadah diskusi yaitu, Seminar Diskusi X Ruang Cendekia Eksternal Vol. 2  bagi para mahasiswa maupun masyarakat dalam memahami kompleksitas problematika tersebut. Kegiatan tersebut diadakan pada Sabtu, 4 November 2033 dengan Tema Kemiskinan Struktural Memicu  Pada Berbagai Dampak Lingkungan dan Kesehatan.

Kesehatan masyarakat adalah isu yang sangat kompleks tak hanya karena kehadiran abadi berbagai macam penyakit, tetapi juga juga gejolak dinamis masyarakat. TBC tak menjadi pengecualian, penyakit akibat bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang pada 2021 menyerang 969.000 orang di Indonesia ini membawa tantangan tersendiri dalam menanganinya. Tak hanya perihal ketersediaan dan distribusi obat, namun juga berkaitan dengan kurangnya SDM Satgas kesehatan, kurangnya fasilitas, dan juga stigma masyarakat terhadap korban TB. 

Meski secara biologis bakteri penyebab TBC tak memandang bulu dalam menyerang, orang miskin seringkali menjadi penderita paling rentan. Lantaran kondisi hidup mereka di tengah kawasan tak layak huni. Bakteri TBC mudah sekali tersebar di lingkungan ramai penduduk dengan sanitasi udara buruk, rumah-rumah kumuh padat yang minim jendela menjadi lokasi sempurna bagi bakteri ini. Terlebih, sebuah studi menemukan rakyat kelas bawah baru akan menemui tenaga medis setelah melewati 3 tahap: non aksi (mengabaikan penyakit), pengobatan sekitar (dikerokin, dsb), dan traditional remedy (dukun, herbal, dsb). Parahnya lagi, ketika mereka berusaha mendapatkan pengobatan seringkali keterbatasan finansial memblokir akses mereka pada sumber pelayanan kesehatan. Stigma yang ada pada masyarakat terkait korban TB juga tak membantu saudara-saudara kurang beruntung kita.

Kompleksitas yang dibawakan kemiskinan struktural pada kasus Tuberkulosis di negara ini membuat isu penyakit tersebut tak dapat diselesaikan melalui pendekatan satu dimensi. Mengandalkan hanya pada tenaga medis bak mengurus hilir tanpa memandang hulu. Mengobati penderita bukan akhir cerita – masyarakat perlu diberdayakan; edukasi mengenai penyebab, alur pengobatan, serta membantah stigma melalui rangkulan bersama diperlukan agar penanganan TB menjadi totalitas dan efektif. Karena inilah agen-agen sosial perlu bergerak bersama. Mulai dari tokoh masyarakat hingga kalangan muda masa depan bangsa.

Sebagai masyarakat, perlu adanya gerakan yang dilakukan dalam menanggulangi TBC salah satunya yaitu dengan adanya gerakan komunitas. Terdapat beberapa latar belakang terbentuknya gerakan komunitas diantaranya angka TBC yang semakin tinggi, pemahaman masyarakat mengenai informasi dan stigma TBC, kesenjangan jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah warga, pemukiman padat penduduk dengan segala permasalahannya dan sosiokultural. Gerakan komunitas dibuat nantinya akan menggerakan masyarakat untuk membantu dalam memutus mata rantai penularan tuberculosis. Masyarakat perlu dibina agar nantinya dapat memberikan edukasi kepada lingkungan sekitar. Terdapat pemberdayaan masyarakat pada tahap pertama yaitu dengan berkoordinasi untuk melakukan pemetaan, kemudian di didik namun jangan terlalu lama karena khawatir mereka merasa terganggu aktivitas perekonomiannya. Masyarakat juga dapat dilibatkan dalam investigasi kontak, melakukan skrining dan dapat membantu merujuk ke puskesmas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun