Infrastruktur Pembayaran dan Sistem Keuangan Digital
Selain infrastruktur fisik, ekonomi digital juga memerlukan infrastruktur finansial digital, terutama sistem pembayaran nasional yang aman, cepat, dan inklusif. Bank Indonesia memainkan peran sentral melalui peluncuran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), BI-FAST, dan pengembangan Rupiah Digital sebagai Central Bank Digital Currency (CBDC) yang saat ini masih berlangsung.
QRIS (dan sekarang berkembang menjadi QRIS Tap) memungkinkan pelaku usaha mikro menerima pembayaran digital hanya dengan satu kode QR yang terstandar secara nasional. Hingga saat ini, pengguna QRIS telah mencapai 42,9 juta pengguna (Simamora, 2025) dengan didominasi oleh UMKM, dan dengan nilai pembayaran mencapai Rp1.701 triliun (Sinulingga, 2025). Sementara itu, BI-FAST menjadi infrastruktur pembayaran antarbank berbasis real-time dan berbiaya rendah.
Sebagai puncak dari transformasi sistem pembayaran ini adalah Rupiah Digital, yang saat ini masih dikembangkan melalui Project Garuda. Mata uang digital yang dikelola oleh bank sentral ini dirancang untuk menjadi simbol kedaulatan digital, memperluas inklusi keuangan, dan mendukung interkoneksi antar sistem digital. Namun, seperti ditegaskan BI (2023, hal. 17), "CBDC tidak dapat diimplementasikan secara efektif tanpa kesiapan infrastruktur digital nasional yang solid, dari segi konektivitas, interoperabilitas, dan perlindungan data."
Risiko Kesenjangan dan Eksklusi Digital
Salah satu risiko paling nyata dari pembangunan ekonomi digital tanpa fondasi infrastruktur yang kuat dan merata adalah munculnya eksklusi digital. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, penetrasi internet nasional telah mencapai 79.5%, tetapi disparitas antar wilayah masih tinggi. DKI Jakarta memiliki tingkat penetrasi di atas 95%, sementara beberapa wilayah di Papua dan NTT masih berada di bawah 60% (APJII, 2023).
Eksklusi digital tidak hanya berdampak pada kesenjangan informasi, tetapi juga memperkuat kesenjangan ekonomi. Pelaku usaha di daerah yang tidak terjangkau jaringan internet sulit mengakses platform digital, pembayaran elektronik, atau layanan perbankan daring. Hal ini pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal dan memperlebar jurang ketimpangan nasional.
Sebagaimana disampaikan World Bank (2021, hal. 4), In digital development, the last mile is the longest. The promise of inclusive digital economies will remain elusive unless infrastructure reaches those most underserved. Dalam pengembangan digital, tahap terakhir adalah yang terpanjang. Janji ekonomi digital yang inklusif akan tetap sulit diraih kecuali infrastruktur menjangkau mereka yang paling kurang terlayani.
Melihat urgensi tersebut, pembangunan infrastruktur digital perlu diarahkan pada tiga poros strategis. Pertama, akses yang merata dan terjangkau, melalui percepatan pembangunan BTS dan ekspansi konektivitas satelit di seluruh wilayah. Kedua, penguatan pusat data dan jaringan domestik, agar data ekonomi dan sosial Indonesia tidak tergantung pada server asing. Ketiga, regulasi dan tata kelola digital nasional, terutama dalam hal interoperabilitas, perlindungan data pribadi, dan keamanan siber.
Pembangunan infrastruktur juga harus dibarengi dengan literasi digital, dukungan keuangan, dan kolaborasi multisektor. Pemerintah tidak cukup sekedar membangun jaringan. Masyarakat harus mampu memanfaatkannya secara produktif dan aman.
Penutup