Pertengahan Juli 2025, hari itu terasa sama saja seperti biasanya---tidak ada yang tampak istimewa. Pagi-pagi, sebelum matahari benar-benar memancar terang, seperti rutinitas biasanya, saya memulai hari dengan berolahraga. Namun, di tengah olahraga itu, sesuatu terasa janggal. Sepertinya saya salah mendaratkan kaki, lutut kanan saya seperti terpelintir, menimbulkan rasa kurang nyaman. Meski begitu, saya masih bisa melanjutkan aktivitas dan berjalan kembali.Â
Hari itu pun berlalu tanpa perubahan berarti. Saya tetap bekerja seperti biasa. Keesokan harinya, Jumat 11 Juli 2025, rasa aneh di kaki masih ada, meski tidak cukup kuat untuk menghentikan rangkaian aktivitas saya hari itu. Saya dapat mengemudi untuk mengantarkan istri saya ke bandara, lalu kemudian langsung lanjut ke kantor untuk bekerja sepanjang hari, dan malamnya lanjut menghadiri connect group---kelompok kecil pemuridan di gereja tempat saya digembalakan.Â
Hari berganti, masuklah ke akhir pekan, Sabtu 12 Juli 2025. Pagi itu rasa sakit di lutut saya semakin menjadi-jadi. Saya tidak bisa berolahraga, bahkan mulai kesulitan berjalan. Meski demikian, saya tetap memaksakan diri beraktivitas di kantor. Waktu terasa berjalan sangat lambat, sementara rasa sakit di lutut kian menyiksa. Saya akhirnya menelepon istri yang saat itu sedang berada di luar kota untuk berdiskusi. Ia langsung menyarankan agar saya segera ke rumah sakit supaya cepat mendapat penanganan. Namun, saya bersikeras menolak. Alasannya ada dua: secara profesional, saya harus melakukan perjalanan ke Jakarta untuk membawakan materi, dan secara pribadi, saya memang takut dengan jarum serta prosedur medis di rumah sakit---apalagi tanpa ditemani istri. Tetapi keteguhan itu tidak bertahan lama. Rasa sakit sudah tidak tertahankan, hingga akhirnya saya memberanikan diri pergi ke IGD sebuah rumah sakit di kawasan Surabaya Barat pada hari Sabtu itu.Â
Sesampainya di IGD, saya langsung menjalani serangkaian prosedur medis. X-Ray dilakukan terlebih dahulu, dan syukurlah hasilnya menunjukkan tulang di sekitar lutut dalam kondisi baik. Hanya saja, terlihat adanya penumpukan cairan yang ternyata menjadi penyebab utama rasa sakit dan bengkak di lutut saya. Untuk meredakannya, dokter melakukan tindakan artrosentesis, yaitu prosedur pengeluaran cairan dari sendi. Meski rasa sakit sedikit berkurang setelah itu, pertanyaan baru muncul: apa yang sebenarnya menyebabkan cairan tersebut menumpuk? Untuk menjawabnya, dokter menyarankan pemeriksaan lanjutan berupa MRI. Karena hari itu bertepatan dengan akhir pekan, hasil MRI baru bisa diperoleh pada minggu berikutnya.Â
Saya percaya, dalam Tuhan tidak ada yang kebetulan. Setiap peristiwa, bahkan yang terasa tidak menyenangkan, selalu ada maksud dan rencana baik-Nya. Itu jugalah yang saya alami. Senin, 14 Juli 2025, bertepatan dengan ulang tahun ke-17 putri saya. Sejak jauh hari saya sudah berbincang dengan istri dan putri saya. "Gimana nih? Dad harus ada di Jakarta pas sweet seventeen-mu," tanya saya. Dengan senyum santai ia menjawab, "Nggak apa-apa Dad, nggak ada pesta kok, cuma makan-makan sama teman. Besoknya aja kita makan sama keluarga." Saya pun lega... sampai akhirnya Tuhan menunjukkan rencana lain.
Tuhan menghendaki saya hadir di hari istimewa putri saya. Rencana pun berubah: siang itu kami lunch bersama keluarga besar, sementara malamnya ia merayakan bersama teman-temannya. Namun sukacita hari itu bercampur dengan ketegangan, karena sore harinya saya harus kembali ke dokter untuk mendengar hasil MRI lutut saya. Dengan wajah serius, dokter menjelaskan ada dua masalah di lutut kanan saya: Ruptur LCL dan Tear Meniscus Lateral---bahasa awamnya, ligamen LCL saya putus dan bantalan lutut robek. Solusi medisnya jelas: operasi. Mendengar itu, jujur saya langsung ciut. Bayangan prosedur medis yang menakutkan dan biaya operasi yang sangat besar menghantui pikiran saya. Apalagi dokter menyebut biaya operasinya sekitar 200 juta rupiah. Sebagai langkah awal, kami pun segera mengajukan pre-approval ke pihak asuransi.
Beberapa hari kemudian, hasil pre-approval dari asuransi keluar. Betapa terkejutnya saya ketika mengetahui bahwa mereka hanya menanggung 55% dari total biaya operasi. Itu artinya, masih ada selisih yang sangat besar yang harus saya tanggung sendiri. Saya pun langsung mengajukan banding sambil terus berdoa. Di momen itu saya mulai belajar apa artinya berdoa dengan cara yang benar---bukan sekadar meminta, tetapi berserah penuh pada kehendak-Nya.
Puji Tuhan, dari hasil banding itu ada peningkatan: tanggungan naik menjadi 80%. Namun, jujur saja, selisihnya tetap saja puluhan juta rupiah---angka yang bagi saya masih terasa berat. Saat itulah Tuhan menegur hati saya. Saya sadar, selama ini saya lebih mengandalkan asuransi sebagai penolong utama, bukan Tuhan. Saya pun bertobat, menyerahkan seluruh pergumulan ini ke dalam tangan-Nya.
Dan benar saja, Tuhan membuka jalan yang tidak pernah saya duga. Melalui kebijakan khusus dari pihak rumah sakit dan kebaikan hati dokter yang menangani saya, biaya excess yang tadinya puluhan juta akhirnya hanya tersisa sekitar 2,5--3 juta rupiah saja. Saya tertegun. Inilah bukti nyata bahwa ketika kita berhenti mengandalkan kekuatan sendiri dan mulai percaya sepenuhnya kepada Tuhan, Dia sanggup mengubah beban besar menjadi pertolongan yang nyata.