Kubu Moeldoko mempunyai kemampuan mengondisikan, terbukti bisa berlangsungnya KLB dan mampu menetralisir tekanan team Covid-19 dengan adanya larangan berkumpul dalam jumlah signifikan.
Bahkan ijin KLB yang menurut Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono tidak diberikan, bisa dinetralisir, acara tetap berlangsung. Dengan kekuatan dana yang jelas besar, panitia mampu membiayai dan mendatangkan sekian banyak pendukung KLB.
Kubu Moeldoko juga mampu mengatasi tekanan serangan kader dan simpatisan partai Demokrat kubu SBY dibawah kepemimpinan AHY untuk menggagalkan KLB di Deli Serdang.
Dari sisi intelijen taktis, kerawanan kubu Moeldoko justru posisinya sebagai Kepala Staf Kepresidenan (sejak 17 Januari 2018), tetap melekat pada dirinya.
Langkah politik yang diambilnya jelas rawan, karena tidak sejalan dengan presiden yang tidak mau mencampuri internal parpol, Moeldoko tidak dilarang karena disebut Mahfud MD mempunyai hak politik.
Kerawanan lainnya, di saat Presiden Jokowi serta seluruh jajaran kabinet masih fokus berusaha mengatasi pandemi dan masalah perekonomian, Moeldoko sebagai inner circle istana justru sibuk bertarung dalam perebutan Partai Demokrat.
Titik rawan lain, pelaksanaan KLB dinilai tidak sesuai dengan AD/ART Partai, disamping syarat keabsahan syarat KLB harus dihadiri 2/3 Pengurus DPD, 1/2 pengurus DPC, dan ada instruksi Ketua Mahkamah Tinggi partai.
Disamping itu ada beberapa titik rawan lainnya terutama masalah penilaian karakternya sebagai seorang jenderal yang mantan Panglima TNI.
Ada Invisible Hand Mendukung Moeldoko?
Istilah invisible hand untuk pertama kali dikenalkan oleh Adam Smith pada tahun 1759 melalui karyanya "Theory of Moral Sentiments" , dimana individu dan bisnis akan mengejar kepentingannya sendiri.
Teori berbasis ekonomi penulis gunakan dalam analisis komponen politik intelijen, dimana untuk mengejar kepentingannya sendiri tersebut pada akhirnya akan selalu memaksimalkan manfaat. Pertanyaan intelijen yang belum terjawab, siapa invisible hand di belakang Moeldoko?