Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nalanda dan Sriwijaya: Sejarah Bukan Dongeng

3 Februari 2017   16:31 Diperbarui: 6 Februari 2017   23:26 2632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Universitas Monastik Nalanda adalah pusat pendidikan Buddhis terbesar di India pada zamannya. Lebih dari 30,000 biksu-biksuni, termasuk 2,000 guru, tinggal di dalamnya, belajar dan berpraktik di sana. Pada masa kejayaannya tersebut, Nalanda tidak tertandingi.

Nalanda berdiri sekitar abad ke-2 Masehi dan kemudian berkembang pesat sejak Dinasti Gupta pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6 Masehi, dengan didukung oleh Raja Gupta yang bernama Shakraditra. Institusi ini bertahan selama kurang lebih seribu tahun sampai kepada Dinasti Pala dan akhirnya hancur di tahun 1203 oleh invasi Muslim dari Turki. Pada tahun 1204, kepala biara Nalanda yang terakhir, Shakyashribhadra, melarikan diri ke Tibet.

Nalanda sangat terkenal ke segala penjuru dunia sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi. Murid-murid dari Persia, Yunani, Cina dan Tibet, berbondong-bondong datang ke Nalanda untuk belajar. Meskipun Buddhadharma merupakan pokok pelajaran utama, namun di Nalanda juga dipelajari berbagai mata pelajaran lain seperti : astronomi, obat-obatan (Ayurveda), tata bahasa, metafisika, logika, filsafat bahasa, filsafat klasik Hindu, dan bahkan termasuk filsafat-filsafat non-India sekalipun dipelajari di sana.

Banyak murid dari China yang datang belajar ke Nalanda, kemudian menulis secara detil di dalam catatan perjalanannya, tentang kondisi-kondisi fisik bangunan di Nalanda, termasuk aktivitas-aktivitas kesehariannya di sana. Di dalam catatan-catatan perjalanan, sebagai contoh, digambarkan bahwa di Nalanda terdapat tiga gedung bertingkat sembilan yang dijadikan perpustakaan dan berisikan jutaan judul teks yang bervariasi.

Di dalam kompleks Nalanda, daerah tempat tinggal pun dibuatkan berdasarkan sektor-sektor sesuai dengan daerah asal para biksu-biksuni tersebut. Bahkan terdapat catatan bahwa di masa-masa akhir Nalanda, terdapat sebuah kompleks tempat tinggal khusus untuk orang Tibet yang sangat padat sekali populasinya. Lebih jauh lagi, bahkan pada suatu masa tertentu terdapat seorang penjaga gerbang Nalanda yang berasal dari orang Tibet. Secara tradisi, penjaga gerbang Nalanda adalah dipilih dari cendekiawan-cendekiawan termahir di Naland. Tugas penting sang penjaga gerbang ini adalah untuk berjaga  di depan gerbang masuk Nalanda dan mengalahkan secara debat, orang-orang non Buddhis yang hendak menantang/mengganggu sistem pendidikan Buddhadharma di Nalanda. Jika orang-orang tersebut akhirnya kalah dalam berdebat, maka mereka tidak diperbolehkan untuk masuk lebih jauh ke dalam Nalanda.

Secara tradisi, dikenal adanya Tujuh Belas Pandit/Cendekiawan Nalanda, yang dikenal juga sebagai tokoh-tokoh Buddhadharma paling penting dari sejarah India. Dari ketujuh belas cendekiawan ini, enam di antaranya dikenal sebagai Sang Enam Ornamen dan dua di antaranya juga dikenal sebagai Sang Dua Yang Terunggul.

Sang Enam Ornamen, terdiri dari: Nagarjuna, Aryadeva, Asanga, Vasubandhu, Dignaga dan Dharmakirti.

Sang Dua Yang Terunggul, terdiri dari: Gunaprabha dan Shakyaprabha.

Kesembilan Pandit Nalanda yang lain adalah: Buddhapalita, Bhavaviveka, Chandrakirti, Shantarakshita, Kamalashila, Haribhadra, Vimuktisena, Shantideva dan Atisha.  

Ketika berbicara tentang catatan-catatan perjalanan para biksu Cina yang pergi ke Nalanda untuk belajar, maka kita akan membicarakan di antara nya adalah Fa Xian, Xuan Zang dan Yi Jing, sebagai yang paling banyak dikenal.  Fa Xian adalah orang pertama yang melakukan perjalanan ziarah ke India, tanah suci umat Buddha. Kepergian beliau yang berlangsung sekitar 16 tahun (399-414 Masehi), tercatat dengan rinci dalam tulisannya, Foguo Ji. Lama kemudian, di masa Dinasti Tang, masa keemasan literatur Buddhadharma di Tiongkok, ada peziarah termasyhur di masa itu, Xuan Zang yang sangat kita kenal melalui tulisannya, XiyuJi, Catatan Mengenai Kerajaan di Barat(Record of the Western Kingdom). Beliau tinggal di India sekitar 17 tahun (629-645 Masehi), dan apa pun yang beliau saksikan sepenuhnya ditulis dalam catatan tersebut, yang merupakan suatu teks yang sangat penting mengenai sejarah dan geografi India di masa itu.

Tak lama setelah wafatnya Xuan Zang, ada seorang lagi peziarah Buddhis yang tak kalah pamornya, bernama Yi Jing, yang bertolak ke India tahun 671 Masehi, dan tiba di Tamralipti, di Muara Hooghly, tahun 673 Masehi. Beliau belajar di Nalanda, untuk jangka waktu yang cukup lama.

Di dalam catatan perjalanan Yi Jing ini, yang sangat menarik adalah adanya penyebutan Shili Foshi dan Moluoyou yang diidentikkan dengan Sriwijaya dan Melayu di Pulau Sumatra.  Yi Jing sempat singgah persisnya sebanyak tiga kali di Shili Foshi (dan menghabiskan waktu selama total 10 tahun di sana). Dalam perjalanannya, sebelum tiba di India, kapal Yi Jing sempat mendarat di Shili Foshi dan beliau menetap selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta.

Kemudian ketika pulang dari India, kapal Yi Jing sekali lagi juga mendarat di Shili Foshi dan di sini Yi Jing menetap untuk menerjemahkan teks yang beliau bawa dari India. Namun, Yi Jing kemudian sempat pulang sebentar ke China untuk meminta stok kertas dan tinta sekaligus meminta dana untuk melanjutkan pekerjaanya.

Setelah itu beliau kembali lagi ke Shili Foshi dan menetap selama tiga tahun untuk melanjutkan pembelajarannya dan menyelesaikan pekerjaan penerjemahan teks-teks Buddhis, baik yang berbahasa Sanskerta maupun Pali. Dari Shili Foshi, tahun 692 Masehi, Yi Jing mengirim pulang catatannya yang diterjemahkan  ke Tiongkok. Karenanya, buku ini disebut ‘Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan’artinya ‘Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan, di mana pulau-pulauyang terletak di Semenanjung Melayu lalu dikenal sebagai pulau-pulauLautan Selatan.

Beberapa fakta menarik yang bisa kita pelajari dari catatan Yi Jing adalah antara lain:

  • Raja-raja dan penguasa Shili Foshi sangat mengagumi dan meyakini (ajaran Buddha), dan hati mereka bertekad melakukan tindakan-tindakan bajik;
  • DI Shili Foshi, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan, di mana hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran PERSIS seperti yang ada di India (Nalanda); tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Bahkan Yi Jing menyarankan bahwa jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan (ajaran) dan melafalkan (kitab asli), lebih baik orang tersebut  tinggal terlebih dahulu di Shili Foshi selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, kemudian baru berlanjut ke India Tengah;
  • Terdapat sejumlah pengikut Mahayana di Shili Foshi;
  • Hampir semua pengikut Buddha di Sumatera, Jawa dan pulau-pulau sekitarnya adalah mengikuti silsilah vinaya Arya-Mulasarvastivada-Nikaya, meskipun terdapat juga sebagian kecil yang tidak.
  • Emas melimpah pada saat itu, sehingga Yi Jing pernah menyebut Shili Foshi dengan kata ‘Pulau Emas’. Masyarakat biasanya mempersembahkan bunga teratai dari emas kepada Buddha dan mereka menggunakan kendi-kendi dari emas serta memiliki patung-patung dari emas;
  • Masyarakat Shili Foshi menggunakan sarung.

Secara umum, berdasarkan petunjuk-petunjuk geografis dan astronomis yang ditinggalkan oleh Yi Jing, Shili Foshi dianggap adalah Palembang, meskipun keseluruhan kawasan Shili Foshi pada saat itu adalah jauh lebih luas daripada Palembang saat ini dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya.

Jika hendak berbicara tentang Sriwijaya, sebenarnya ada lagi sebuah catatan sejarah yang tidak kalah penting dan melibatkan seorang guru besar India, yaitu Atisha yang juga merupakan salah satu dari Tujuh Belas Pandit Nalanda. Beliau adalah seorang biksu asal India yang kemudian bertemu dengan guru akar beliau, seorang biksu kelahiran Sriwijaya, bernama Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dan belajar selama dua belas tahun di Sriwijaya sebelum akhirnya beliau diundang ke Tibet untuk melakukan sebuah gelombang reformasi Buddhisme di Tibet, berdasarkan buah-buah pemikiran yang beliau pelajari dari guru beliau di Sriwijaya.  

Berdasarkan fakta-fakta sejarah ini, maka ada satu kesimpulan yang dapat kita tarik, yaitu bahwa kedudukan Melayu dan Nalanda sebagai dua tempat pendidikan di Asia seyogyanya menyadarkan kita betapa besar peradaban Indonesia pada masa lalu dan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pusat-pusat peradaban di negara lain pada masa itu.

Selain itu, satu hal yang juga perlu disadari adalah bahwa ajaran Buddhadharma berhasil bertahan selama 2,500 tahun lebih sampai dengan sekarang adalah sangat mengandalkan jasa dari sistem monastik di Nalanda, India yang telah berhasil menjaga silsilah ini selama lebih kurang 1000 tahun, dan juga jasa dari sistem monastik di Kerajaan Sriwijaya, Indonesia yang juga sempat bertahan selama lebih kurang 600 tahun kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit selama lebih kurang 300 tahun. Dan saat ini, di abad ke-21 ini, tanggung jawab adalah berada di pundak kita sebagai penerus Buddhadharma untuk bisa menjaga garis silsilah yang sangat berharga ini, sampai ke sebuah masa yang tidak bisa kita bayangkan lagi.

Sumber:

  • The Seventeen Pandits of Nalanda Monastery, oleh James Blumental, Ph.D.
  • Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan, oleh Yi Jing
  • Kumpulan ajaran-ajaran dari para Guru Yang Berharga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun