Mohon tunggu...
Pratista Andha Mitya
Pratista Andha Mitya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswi prodi Sosiologi Unpad tahun 2024 yang tertarik untuk mengkaji isu-isu sosial dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Kesantunan Mulai Ditinggalkan

11 Juni 2025   13:15 Diperbarui: 11 Juni 2025   12:55 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bermain media sosial

Kalau kalian merasa orang-orang sekarang makin gampang marah, makin cuek, makin kasar... kalian tidak sendirian. Saya juga sering merasakannya. Kadang di jalan, orang menyalip tanpa minta maaf. Di antrean, orang nyelak tanpa rasa bersalah. Di internet? Wah, jangan ditanya. Komentar nyinyir, body shaming, debat sengit penuh makian—semuanya jadi pemandangan biasa.

Yang membuat sedih, hal-hal ini tidak lagi dianggap aneh. Justru kadang malah jadi hiburan, jadi konten, jadi bahan lucu-lucuan. Padahal, di balik semua itu ada satu hal yang perlahan hilang dari kehidupan kita: sopan santun.

Apa Itu Sopan Santun?

Sopan santun itu bukan sekadar pakai bahasa yang halus atau tunduk saat bicara dengan orang tua. Ia adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan hormat—meskipun kita berbeda, meskipun kita nggak setuju, meskipun kita lagi bad mood.

Bentuknya sederhana: mengucap “terima kasih”, menunggu giliran bicara, mendengarkan tanpa memotong, minta maaf kalau salah, tidak menyela saat orang lain sedang menjelaskan. Tapi dampaknya besar. Sopan santun membuat interaksi jadi lebih manusiawi, lebih hangat, dan lebih damai.

Masalahnya, sekarang sopan santun mulai dianggap "tidak penting". Bahkan, kadang dianggap mengganggu. “Kenapa harus terlalu basa-basi sih?”, “Gue emang orangnya blak-blakan, mending jujur daripada munafik.”

Tapi pernahkah kita berpikir bahwa jujur nggak harus menyakitkan?

Dunia Digital: Kebebasan yang Kehilangan Etika

Media sosial, chat online, dan kolom komentar telah membuka ruang baru bagi orang untuk mengekspresikan diri. Tapi di saat yang sama, ruang ini juga jadi tempat di mana sopan santun sering lenyap.

Di balik layar ponsel atau komputer, kita merasa aman. Tak perlu lihat ekspresi lawan bicara, tak perlu tanggung reaksi langsung. Akhirnya, orang menjadi lebih mudah marah, menyindir, atau menyerang tanpa berpikir panjang. Etika komunikasi pun tergerus. Kebebasan jadi kebablasan.

Fenomena ini bahkan terlihat di kalangan anak-anak dan remaja yang tumbuh dengan internet sebagai dunia utamanya. Mereka belum tentu diajarkan bagaimana cara bersikap baik secara daring. Akhirnya, yang mereka pelajari adalah: kalau mau didengar, harus nyolot. Kalau mau viral, harus kasar. Kalau mau dianggap keren, harus sarkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun